Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

OCCRP Memasukkan Jokowi Sebagai Presiden Terkorup: Framing atau Sesuai Fakta?

2 Januari 2025   15:27 Diperbarui: 2 Januari 2025   15:56 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi (Merdeka.com)

Media sosial Indonesia belakangan ini dipenuhi oleh perdebatan sengit menyusul keputusan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang memasukkan Presiden Joko Widodo dalam daftar finalis tokoh terkorup dunia pada tahun 2024. Pendapat publik pun terbelah. Sebagian menilai langkah OCCRP itu objektif dan berdasarkan fakta, sementara sebagian lainnya melihatnya sebagai upaya framing negatif yang berbau politik.
Namun, sebelum terburu-buru menyimpulkan, penting untuk memahami siapa sebenarnya OCCRP, apa misinya, dan bagaimana kredibilitasnya.

Mengenal OCCRP dan Pendanaannya

OCCRP adalah organisasi jurnalisme investigasi internasional yang berbasis di Eropa. Didirikan pada 2006, mereka mengklaim memiliki misi untuk mengekspos korupsi dan kejahatan terorganisir di seluruh dunia. Proyek-proyek OCCRP sering melibatkan investigasi mendalam yang melibatkan jaringan jurnalis dari berbagai negara.

Namun, pertanyaan soal pendanaan OCCRP sering menjadi sorotan. OCCRP didanai oleh sejumlah organisasi internasional, termasuk Open Society Foundations yang didirikan oleh George Soros, serta lembaga donor lainnya seperti USAID dan pemerintah negara-negara Barat. Hal ini memicu kecurigaan di beberapa kalangan bahwa investigasi mereka tidak sepenuhnya bebas dari kepentingan politik.

Dasar Penilaian OCCRP: Opini atau Fakta Hukum?

Masuknya nama Jokowi dalam daftar tersebut menimbulkan pertanyaan serius. Apakah OCCRP memiliki bukti konkret, seperti putusan pengadilan, laporan audit independen, atau dokumen resmi, yang menguatkan tuduhan itu? Atau keputusan ini hanya didasarkan pada opini publik dan persepsi negatif yang sering muncul di media sosial?

Selama masa kepemimpinannya, Jokowi memang kerap menjadi sasaran tuduhan korupsi, seperti dalam kasus proyek infrastruktur dan dugaan penyalahgunaan anggaran negara. Namun, hingga kini, mayoritas tuduhan tersebut tidak pernah terbukti secara hukum.

Di sisi lain, keberadaan beberapa kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat pemerintahan era Jokowi, seperti kasus Jiwasraya dan Asabri, kerap dijadikan bahan kritik oleh oposisi. Meski Jokowi tidak secara langsung terlibat, kasus-kasus ini memberikan celah bagi lawan politik untuk menyerangnya.

Framing atau Fakta?

Dalam dunia jurnalistik, framing adalah cara menyusun sebuah narasi agar pembaca atau audiens memiliki persepsi tertentu. Dalam kasus ini, keputusan OCCRP memasukkan nama Jokowi sebagai finalis tokoh terkorup dunia dapat dianggap sebagai bentuk framing, terutama jika tidak didukung oleh bukti kuat.

Jika tuduhan itu hanya berdasarkan asumsi atau opini, langkah OCCRP bisa menjadi preseden buruk. Mencap seseorang sebagai koruptor tanpa bukti hukum jelas tidak hanya merusak reputasi individu, tetapi juga menciptakan kegaduhan yang tidak perlu di masyarakat.

Namun, jika OCCRP memiliki data konkret yang mendukung keputusan tersebut, ini bisa menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk introspeksi. Bagaimanapun, transparansi dan akuntabilitas adalah pilar penting dalam pemerintahan demokratis.

Sikap Pemerintah dan Masyarakat

Langkah OCCRP ini seharusnya dijadikan pelajaran, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun