Kasus dugaan korupsi terkait dana corporate social responsibility (CSR) yang dikelola Bank Indonesia (BI) kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, sorotan mengarah pada pengakuan mengejutkan dari anggota DPR RI, Satori, yang menyebut bahwa dana CSR tersebut dialirkan kepada seluruh anggota Komisi XI DPR RI tanpa ada yang merasa keberatan. Pengakuan ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah praktik tersebut memang "biasa" atau justru sebuah penyimpangan serius yang harus diusut tuntas?
Pengakuan yang Mengundang Polemik
Setelah diperiksa sebagai saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat, 27 Desember 2024, Satori mengungkapkan bahwa dana CSR dari BI digunakan untuk mendanai program-program sosialisasi di daerah pemilihan (dapil) anggota Komisi XI DPR RI. "Semua anggota Komisi XI dapat program itu. Bukan hanya kita saja," ujar Satori.
Ia menjelaskan bahwa dana tersebut tidak diberikan langsung kepada anggota DPR, melainkan dialirkan melalui sebuah yayasan sebelum digunakan untuk program-program dapil. Namun, pernyataan ini justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apakah alokasi dana CSR untuk kebutuhan dapil anggota DPR merupakan penggunaan yang sah dan sesuai aturan? Ataukah ini hanya alasan untuk menyamarkan praktik penyelewengan anggaran?
CSR: Apa dan Untuk Siapa?
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat, biasanya diwujudkan dalam program-program pembangunan sosial, pendidikan, lingkungan, dan kesehatan. Sebagai bank milik pemerintah, BI wajib mengelola dana CSR dengan transparansi dan akuntabilitas.
Namun, alokasi dana CSR untuk mendanai kegiatan sosialisasi anggota DPR di dapil jelas menimbulkan tanda tanya besar. DPR sejatinya sudah memiliki anggaran yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung kegiatan konstitusional mereka, termasuk di dapil. Dengan demikian, penggunaan dana CSR untuk keperluan yang sebenarnya sudah dianggarkan bisa dianggap melampaui kewenangan dan bahkan masuk kategori penyalahgunaan.
Celah Korupsi yang Terbuka Lebar
Kasus ini menunjukkan adanya potensi celah korupsi yang masih belum sepenuhnya tertutup, baik di lembaga legislatif maupun institusi keuangan negara. Dana CSR yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat luas justru diarahkan ke kegiatan yang berpotensi sarat dengan kepentingan politik.
KPK kini tengah menyelidiki dugaan bahwa dana tersebut tidak digunakan sesuai peruntukannya. Jika terbukti bahwa dana CSR digunakan untuk kepentingan pribadi atau politik anggota DPR, maka hal ini bisa masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Sebagai lembaga penegak hukum, KPK diharapkan bersikap profesional, transparan, dan tegas dalam menangani kasus ini demi menjaga integritas pengelolaan dana publik.
Tanggung Jawab BI dan DPR
Bank Indonesia, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan dana CSR, harus memastikan bahwa dana tersebut digunakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Transparansi dalam proses penyaluran dana menjadi kunci untuk menghindari penyalahgunaan.
Di sisi lain, anggota DPR, sebagai representasi rakyat, harus memahami batasan etika dan hukum dalam menerima atau menggunakan dana publik, termasuk dana CSR. Pengakuan Satori yang menyebut praktik ini sebagai hal yang "biasa" justru menunjukkan minimnya kesadaran akan risiko korupsi dan dampaknya terhadap kepercayaan publik.
Mewujudkan Komitmen Antikorupsi
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa perang melawan korupsi tidak hanya membutuhkan penegakan hukum yang tegas, tetapi juga komitmen bersama dari seluruh elemen pemerintah. Bank Indonesia dan DPR harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pengelolaan dana CSR benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat luas, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.