Krisis populasi tengah menjadi ancaman nyata bagi banyak negara di dunia, khususnya di Asia dan Eropa. Fenomena ini ditandai dengan menurunnya jumlah generasi muda dan meningkatnya populasi lanjut usia.Â
Negara-negara yang sebelumnya dikenal dengan program pengendalian populasi kini justru panik menghadapi kekurangan generasi produktif. Pertanyaan besar yang muncul: apakah Indonesia juga berisiko mengalami krisis serupa?
Krisis Populasi di Asia dan Eropa: Sebuah Tren Mengkhawatirkan
Eropa telah menghadapi krisis demografi selama beberapa dekade. Di Jepang, Korea Selatan, dan China, fenomena serupa kini menjadi masalah serius.
Jepang adalah contoh ekstrem. Dengan tingkat kelahiran hanya 1,34 per wanita (2022), jauh di bawah angka penggantian generasi sebesar 2,1, populasi Jepang terus menurun. Pada 2023, 29% penduduknya berusia di atas 65 tahun, membuat Jepang menjadi salah satu negara dengan populasi lansia tertinggi di dunia.
Korea Selatan bahkan lebih mengkhawatirkan. Tingkat kelahiran di negara ini menjadi yang terendah di dunia, hanya 0,78 per wanita pada 2022. Kebijakan pemerintah yang mendorong kelahiran, seperti subsidi anak dan insentif pajak, sejauh ini belum menunjukkan hasil signifikan.
China, yang pernah ketat menerapkan kebijakan satu anak sejak 1979, kini menghadapi kenyataan pahit. Pada 2022, angka kelahiran hanya mencapai 6,77 per seribu penduduk, sementara populasi lansia terus meningkat. Tahun 2023, untuk pertama kalinya dalam enam dekade, populasi China mengalami penurunan.
Jika tren ini berlanjut, negara-negara tersebut menghadapi tantangan besar: produktivitas ekonomi menurun, beban sosial meningkat, dan struktur masyarakat menjadi tidak seimbang.
Ironi Kebijakan Populasi di Masa Lalu