Harun Masiku, sebuah nama yang belakangan ini lebih dikenal bukan karena prestasi, melainkan absensinya yang luar biasa. Bayangkan saja, seorang mantan calon anggota legislatif (caleg) yang tersandung kasus suap, berhasil menghilang begitu saja sejak awal 2020.Â
Bukan kasus mega korupsi, bukan skandal triliunan rupiah, tetapi pelarian Harun Masiku telah menjadi simbol bagaimana hukum dan politik di Indonesia bercampur dalam satu cerita yang, kalau boleh kita sebut, seperti sinetron dengan plot berbelit-belit.
Sayembara Menemukan Harun Masiku
Popularitas Harun Masiku sebagai buronan KPK bahkan melahirkan fenomena yang absurd: sayembara untuk menemukannya. Bukan dari pihak berwenang, tentu saja, tetapi dari publik yang mulai jengah melihat drama tanpa akhir ini.Â
Media sosial ramai dengan meme dan spekulasi liar. Apakah Harun sedang bersembunyi di pulau terpencil? Atau mungkin dia menikmati kehidupan baru di luar negeri, menggunakan identitas baru yang tidak akan pernah kita ketahui?
Ironisnya, pemerintah seolah hanya berdiri di tepi lapangan, menonton pertandingan yang mereka seharusnya mainkan.Â
Harun Masiku, yang ditetapkan sebagai buronan, tidak lagi menjadi prioritas. Padahal, suap yang melibatkan dirinya adalah tentang upaya untuk memanipulasi demokrasi---sebuah dosa besar dalam negara yang mengaku berbasis hukum.
KPK: Dari Harimau Menjadi Kucing Peliharaan?
Di tengah drama ini, sorotan tajam tertuju pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dulu, lembaga ini dikenal sebagai momok bagi para koruptor. Tapi kini, KPK seolah kehilangan taringnya, menjadi lembaga pelengkap administratif yang jauh dari kesan menakutkan.
Kasus Harun Masiku adalah cermin besar bagi KPK. Publik bertanya-tanya, apakah lembaga ini sengaja memperlambat proses pencarian? Bukankah teknologi dan sumber daya yang mereka miliki cukup untuk melacak satu orang, di tengah dunia yang penuh kamera pengawas dan data digital? Atau, apakah ada kepentingan lain yang membuat KPK bersikap "lunak"?
Menariknya, kasus serupa pernah terjadi dengan Gubernur Kalimantan Selatan yang menjadi tersangka tetapi tidak dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO). Apakah ini standar baru dalam penegakan hukum? Atau sekadar pengecualian khusus bagi mereka yang berada di lingkar kekuasaan?