Namun, skenario ini dapat memperuncing potensi perpecahan di tubuh PDIP, terutama mengingat isu adanya dua kubu internal---kubu Puan Maharani dan kubu Hasto yang disebut-sebut mewakili Megawati serta trah Soekarno lainnya.
Sejarah PDIP sendiri tidak lepas dari perpecahan. Partai ini lahir dari konflik internal PDI pada 1996 yang memunculkan faksi Megawati.Â
Setelah itu, PDIP juga pernah diguncang oleh tokoh-tokoh yang keluar seperti Laksamana Sukardi dan Dimyati Hartono, yang kemudian mendirikan partai baru.Â
Meski partai baru tersebut tidak bertahan lama, kejadian ini menunjukkan bahwa konflik internal bisa melemahkan soliditas partai dalam jangka panjang.
Sementara itu, jika makna kedua yang benar, Jokowi sebagai "partai perorangan" dapat menjadi tokoh independen yang lebih kuat secara moral dan simbolik. Posisi ini memungkinkan Jokowi untuk memosisikan dirinya sebagai "Bapak Bangsa," yang fokus pada visi besar tanpa terikat kepentingan politik praktis.Â
Ini terlihat dari pengaruhnya dalam Pilkada Serentak 2024, di mana dukungan Jokowi tetap signifikan meskipun tanpa embel-embel partai.
Apa yang Seharusnya Jokowi Lakukan?
Kedua interpretasi tersebut memiliki tantangan dan peluang. Jika Jokowi merasa masih menjadi bagian dari PDIP, ia harus membuka komunikasi dengan Megawati untuk meredakan ketegangan dan memastikan bahwa hubungannya dengan partai tetap harmonis.Â
Namun, jika ia memilih jalan independen, Jokowi perlu memperkuat posisinya sebagai tokoh bangsa yang dapat menjembatani berbagai kepentingan politik tanpa terjebak dalam konflik partisan.
Makna bagi Bangsa Indonesia
Pernyataan "partai perorangan" Jokowi tidak hanya mencerminkan dinamika internal PDIP tetapi juga menyoroti pentingnya kepemimpinan yang berfokus pada kepentingan bangsa, bukan sekadar kepentingan partai.Â