Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Caci, Fitnah, Suara Kebencian dan Penghinaan: Apakah Kosa Kata Kita Sudah Lumrah?

4 Desember 2024   20:01 Diperbarui: 4 Desember 2024   20:22 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Suara kebencian dan Penghinaan (Tribunnews.com)

Dalam beberapa hari terakhir, media sosial dan ruang publik ramai membahas insiden seorang tokoh nasional yang dianggap menghina penjaja keliling. 

Peristiwa ini sebenarnya berawal dari candaan, yang dalam konteks tertentu, mungkin tidak dimaksudkan untuk menyakiti. 

Namun, karena melibatkan seorang tokoh pemerintahan, perbincangan ini meledak secara nasional, menjadi viral, dan memicu berbagai reaksi, baik yang membela maupun yang mengkritik.

Fenomena ini bukan hal baru. Kita hidup di zaman di mana caci maki, fitnah, ujaran kebencian, dan penghinaan sudah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, terutama di dunia maya. 

Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi positif, kini sering kali berubah menjadi arena konflik verbal tanpa batas. Apa yang sebenarnya terjadi dengan cara kita berkomunikasi?

Bahasa yang Membelah

Tidak dapat disangkal, ujaran negatif sering diarahkan ke semua kalangan---masyarakat biasa, tokoh publik, bahkan presiden. Namun, ketika unsur politik terlibat, dampaknya menjadi lebih besar. 

Jika lawan politik yang dihina, hal itu dianggap "wajar" oleh sebagian pihak. Sebaliknya, ketika penghinaan menyentuh kelompok sendiri, pembelaan mati-matian sering muncul, bahkan untuk tindakan yang melampaui batas kesopanan.

Polarisasi ini memperparah situasi. Dalam banyak kasus, penghinaan tidak lagi dinilai berdasarkan esensinya, tetapi dari siapa yang mengatakannya dan kepada siapa itu diarahkan. 

Sikap partisan membuat orang mudah membenarkan ujaran kebencian selama itu sesuai dengan afiliasi politik, ras, atau agama mereka.

Mengapa Bahasa Negatif Merajalela?

Ada beberapa alasan mengapa ujaran kebencian dan kata-kata kasar merajalela:

Anonimitas di Media Sosial
Media sosial memungkinkan orang untuk berkomentar tanpa perlu mempertanggungjawabkan identitasnya. Anonimitas ini memberi rasa aman palsu untuk melontarkan kata-kata negatif.

Kurangnya Pendidikan Literasi Digital
Tidak semua pengguna media sosial memahami dampak dari apa yang mereka tulis. Literasi digital yang rendah membuat banyak orang menganggap komentar kasar sebagai sesuatu yang biasa saja.

Budaya Permisif
Kita sering kali membiarkan ujaran kebencian berkembang tanpa koreksi. Lebih buruk lagi, dalam beberapa kasus, komentar negatif justru dirayakan dan didukung karena dianggap mewakili "keberanian" atau "kejujuran."

Pengaruh Algoritma Media Sosial
Algoritma media sosial cenderung mempromosikan konten yang memicu emosi, termasuk kemarahan. Konten negatif lebih mudah viral dibandingkan konten positif, karena reaksi emosional sering kali lebih intens.

Polarisasi Sosial dan Politik
Perbedaan pandangan politik, agama, atau budaya sering kali menjadi bahan bakar konflik verbal. Polarisasi membuat orang mudah menyerang kelompok yang berbeda pandangan tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk keluar dari lingkaran negatif ini, ada beberapa langkah yang perlu diambil oleh individu maupun masyarakat secara kolektif:

Meningkatkan Literasi Digital
Pendidikan literasi digital harus menjadi prioritas. Setiap individu perlu memahami dampak jangka panjang dari ujaran kebencian, baik bagi korban maupun pelaku.

Menjaga Etika Berbahasa
Bahasa adalah cermin budaya. Kita perlu kembali menanamkan nilai-nilai kesopanan dalam berkomunikasi, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Menanamkan Sikap Adil
Penghinaan, ujaran kebencian, dan caci maki tidak pernah bisa dibenarkan, siapa pun yang menjadi targetnya. Sikap adil harus menjadi tolok ukur dalam menilai peristiwa.

Mendorong Penegakan Hukum
Hukum harus ditegakkan untuk mengatasi ujaran kebencian. Namun, penerapannya harus adil, tanpa pandang bulu, agar tidak memunculkan ketidakpercayaan publik.

Mengubah Algoritma Media Sosial
Platform media sosial perlu bertanggung jawab dengan memperbaiki algoritma yang lebih mempromosikan diskusi positif daripada konflik.

Menjadi Cermin Peradaban

Bahasa adalah cerminan dari peradaban. Ketika kosa kata kita dipenuhi dengan caci maki, penghinaan, dan suara kebencian, itu mencerminkan bagaimana kita memandang dunia dan orang lain. Saatnya kita mengambil langkah mundur, merenung, dan mengubah cara kita berkomunikasi.

Setiap kata yang kita ucapkan atau tulis memiliki kekuatan. Ia bisa membangun atau menghancurkan. Maka, mari kita memilih untuk membangun, bukan menghancurkan. Sebab, di balik layar, di balik kata-kata, ada manusia yang merasakan dampaknya. 

Jangan sampai kosa kata kita yang negatif menjadi warisan bagi generasi berikutnya. Mari kembali ke nilai luhur: berbicara dengan bijak, bertindak dengan hati, dan hidup dalam harmoni.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun