Korupsi (KPK) selalu menjadi sorotan publik, terutama karena posisinya yang strategis dalam menjaga integritas lembaga antirasuah ini. Salah satu calon, Heru Kreshna Reza, membuat pernyataan yang menuai perdebatan saat menjalani proses tersebut di DPR RI.Â
Uji kelayakan dan kepatutan calon Dewan Pengawas Komisi PemberantasanIa menyatakan ketidaksetujuannya terhadap praktik menampilkan tersangka korupsi dalam konferensi pers, mengingat pentingnya asas praduga tak bersalah."Misalnya ketika press conference, pengumuman seseorang tersangka. Dipajang dengan seluruh barang bukti yang didapat. Padahal, peran asas praduga tak bersalah, asas hukum universal orang ini belum bisa dinyatakan bersalah karena belum melalui proses pengadilan," ujar Heru, menanggapi pertanyaan Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR RI, pada Kamis (21/11/2024).
Pernyataan ini memicu perdebatan sengit di kalangan pengamat hukum, aktivis antikorupsi, dan masyarakat luas. Sebagian menilai pernyataan tersebut sejalan dengan prinsip universal hukum, namun sebagian lain mempertanyakan apakah langkah ini justru melemahkan efek jera yang diupayakan oleh KPK dalam memerangi korupsi.
Korupsi: Kejahatan Luar Biasa, Perlukah Pendekatan Luar Biasa?
Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan yang tidak biasa. Konferensi pers dengan menampilkan tersangka dan barang bukti telah menjadi salah satu strategi KPK untuk memberikan efek jera, meningkatkan transparansi, dan membangun kepercayaan publik terhadap lembaga ini.
Namun, pendekatan ini sering dikritik karena dianggap melanggar asas praduga tak bersalah. "Saat seseorang ditampilkan sebagai tersangka, persepsi publik cenderung langsung menyatakan ia bersalah. Padahal proses pengadilan belum selesai," kata pengamat hukum pidana Asep Iwan Iriawan.
Di sisi lain, kritik ini juga memunculkan pertanyaan: apakah perlindungan hak tersangka harus mengesampingkan upaya melawan korupsi yang sistemik? Data Transparency International menunjukkan Indonesia menempati peringkat 96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (2023). Dalam situasi genting ini, membangun ketakutan publik terhadap konsekuensi korupsi dianggap penting untuk mencegah kasus baru.
DPR dan Seleksi Dewan Pengawas: Adakah Sistem yang Lebih Baik?
Kontroversi ini bukan yang pertama dalam proses seleksi Dewan Pengawas KPK. Sebelumnya, Janis Tarnak, anggota pimpinan KPK, juga menuai kecaman karena menyebut tapping on trap (TOT) atau operasi tangkap tangan sebagai metode yang "tidak manusiawi." Pernyataan ini memicu kekhawatiran bahwa pimpinan KPK cenderung melemahkan lembaga itu sendiri.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah proses seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK perlu diubah. Saat ini, seleksi dilakukan melalui Panitia Seleksi (Pansel) dan disahkan oleh DPR. Namun, dominasi DPR sebagai pengambil keputusan akhir seringkali dianggap rawan terhadap kepentingan politik.
Pengamat antikorupsi Emerson Yuntho menyarankan reformasi proses seleksi dengan melibatkan lebih banyak unsur masyarakat sipil dan institusi independen. "Harus ada mekanisme yang memastikan bahwa calon Dewas benar-benar memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi. Keterlibatan DPR sebaiknya dibatasi hanya sebagai fungsi pengawasan, bukan penentu akhir," tegasnya.