Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kembali DPR Tidak Membahas UU Perampasan Aset Sebagai Prioritas: Ketakutan?

22 November 2024   09:30 Diperbarui: 22 November 2024   13:18 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan DPR RI untuk tidak menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai prioritas menuai sorotan tajam. RUU ini, yang bertujuan memperkuat pemberantasan korupsi dengan memberikan kewenangan lebih untuk menyita aset-aset hasil kejahatan, justru dimasukkan dalam kategori jangka menengah. Alasan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sturman Panjaitan, adalah perlunya kajian lebih mendalam agar tidak berbenturan dengan undang-undang lain.

Namun, argumen tersebut menuai kritik. Banyak pihak menilai bahwa alasan ini hanya bentuk diplomasi untuk menutupi ketakutan para elite politik yang khawatir undang-undang tersebut dapat berbalik menyerang mereka.

Ketakutan Akan Kehilangan Privilege

RUU Perampasan Aset memiliki daya tawar yang sangat kuat dalam pemberantasan korupsi. Dengan disahkannya RUU ini, negara dapat memiskinkan koruptor melalui penyitaan aset yang diperoleh dari hasil kejahatan, baik melalui tindak pidana korupsi maupun pencucian uang. Tidak ada celah bagi koruptor untuk menyelamatkan hasil kejahatannya dengan menyembunyikan atau mengalihkan aset ke pihak ketiga.

Namun, langkah ini jelas akan mengganggu kenyamanan banyak pihak, terutama para elite yang diduga memiliki kepentingan dalam mempertahankan sistem yang cenderung melindungi pelaku kejahatan kerah putih. Pernyataan Sturman bahwa "perlu kajian mendalam" dinilai sebagai upaya memperlambat pembahasan, bukan memperkuat landasan hukum.

Apalagi, keputusan ini datang di tengah meningkatnya kritik terhadap DPR dan institusi terkait yang dianggap memperlemah pemberantasan korupsi. Tepuk tangan meriah saat Johanis Tanak menyatakan akan menghapus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sinyal nyata bahwa upaya pemberantasan korupsi sedang berada di titik nadir.

Apakah Ada Kepentingan Tertentu?

Kecurigaan bahwa ada kepentingan tertentu di balik penundaan ini sulit untuk diabaikan. Undang-undang yang dirancang untuk mengejar dan menyita aset hasil kejahatan jelas mengancam mereka yang memiliki rekam jejak yang meragukan. Bahkan, data menunjukkan bahwa banyak kasus korupsi besar yang tidak dapat diusut tuntas karena kendala pengembalian aset.

Jika RUU ini disahkan, tidak hanya koruptor yang akan dimiskinkan, tetapi juga pihak-pihak yang ikut menerima keuntungan dari hasil korupsi. Mekanisme ini melibatkan aset yang disita bahkan sebelum pelaku dijatuhi hukuman pidana, sesuatu yang dinilai oleh beberapa anggota DPR sebagai langkah terlalu "berani."

Mengapa RUU Perampasan Aset Penting?

Indonesia termasuk negara dengan tingkat korupsi yang masih tinggi. Berdasarkan data dari Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada tahun 2023 hanya mencapai 34, jauh dari ideal. Salah satu penyebab utamanya adalah lemahnya pengembalian aset negara yang dirampas oleh koruptor.

RUU Perampasan Aset memberikan solusi konkret untuk menutup celah tersebut dengan beberapa langkah:

1. Penyitaan Aset Tanpa Menunggu Putusan Pengadilan: Negara dapat langsung menyita aset yang diduga hasil kejahatan untuk mencegah pengalihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun