Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, memicu kontroversi dengan pernyataannya dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI, Selasa (19/11/2024). Dalam kesempatan itu, ia menyatakan keinginannya untuk menghentikan operasi tangkap tangan (OTT) jika terpilih kembali menjadi pimpinan KPK. Ia berdalih bahwa praktik OTT tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)."OTT menurut hemat saya kurang pas, walaupun saya di pimpinan KPK. Berdasarkan pemahaman saya, OTT itu sendiri tidak tepat," ujar Tanak. Ia menambahkan bahwa istilah "operasi" dalam OTT seharusnya mengacu pada sesuatu yang telah direncanakan dengan matang, seperti tindakan seorang dokter dalam melakukan operasi medis.
Pernyataan ini, ironisnya, datang dari seorang pimpinan lembaga yang justru terkenal karena keberhasilan OTT dalam memberantas korupsi. Tak pelak, ucapan Tanak disambut meriah oleh sejumlah anggota DPR, mencerminkan hubungan kompleks antara KPK dan DPR yang kerap menjadi sorotan publik.
OTT: Senjata Ampuh KPK yang Ditakuti Koruptor
Operasi Tangkap Tangan (OTT) adalah tindakan hukum yang dilakukan dengan menangkap seseorang saat tengah melakukan tindak pidana, khususnya korupsi. Definisi ini sesuai dengan Pasal 1 Ayat (19) KUHAP, yang mengatur bahwa tangkap tangan dilakukan saat seseorang:
1. Sedang melakukan tindak pidana;
2. Baru saja melakukan tindak pidana;
3. Baru saja diketahui melakukannya oleh masyarakat; atau
4. Sedang dalam situasi mencurigakan yang kuat
Sejak berdiri pada 2003, KPK telah menjadikan OTT sebagai salah satu instrumen paling efektif dalam mengungkap korupsi besar. Beberapa kasus besar hasil OTT antara lain:
1. Kasus E-KTP (2013): Mengungkap skandal korupsi proyek KTP elektronik senilai Rp2,3 triliun yang melibatkan banyak pejabat, termasuk Setya Novanto.
2. Kasus Suap Gubernur Aceh (2018): Irwandi Yusuf ditangkap karena menerima suap terkait Dana Otonomi Khusus Aceh.