PDIP saat ini tampak berada di persimpangan jalan dalam menentukan sikap terhadap pemerintahan Prabowo Subianto, presiden baru Indonesia yang dilantik bersama Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya. Di satu sisi, PDIP menyatakan dukungan kepada pemerintahan Prabowo di parlemen, namun di sisi lain, mereka menolak tawaran untuk bergabung di kabinet. Sikap ambivalen ini memunculkan berbagai spekulasi mengenai posisi politik PDIP yang sebenarnya, terutama di tengah dinamika internal partai dan masih kuatnya pengaruh Presiden sebelumnya, Joko Widodo.
PDIP dan Tawaran Gabung Kabinet Merah Putih: Kenapa Menolak?
Sejak awal pembentukan kabinet, Prabowo membuka peluang bagi PDIP untuk ikut berkontribusi di pemerintahan. Namun, PDIP secara tegas menolak tawaran tersebut. Banyak yang menilai ini sebagai langkah PDIP untuk menjaga jarak politik. Pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menegaskan bahwa PDIP "tidak ada masalah dengan Prabowo" tampaknya adalah upaya untuk menegaskan bahwa penolakan tersebut bukan karena perbedaan pandangan ideologis atau ketidaksepahaman personal, tetapi lebih karena strategi partai.
"Kami berikan kepercayaan untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. PDIP tak ada persoalan terkait Pak Prabowo," kata Hasto seusai menghadiri Rakerdasus PDIP di Mataram. Sikap ini bisa dilihat sebagai strategi politik PDIP untuk tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip partai. Namun, ambivalensi ini juga menimbulkan tanda tanya tentang konsistensi partai.
Ambiguitas dalam Dukungan dan Gugatan Terhadap Gibran
PDIP memang menyatakan bahwa mereka mendukung pemerintahan Prabowo di parlemen, namun pada saat yang sama, mereka juga melayangkan gugatan terkait pengangkatan Gibran sebagai calon wakil presiden. Keputusan Prabowo untuk memilih Gibran, putra Jokowi, sebagai wakilnya telah menimbulkan kontroversi, terutama terkait usia dan legalitas pencalonannya.Â
PDIP, melalui Hasto, menekankan bahwa gugatan ini bukan untuk menyerang Prabowo atau pemerintahan, melainkan untuk menegakkan prinsip hukum dan menjaga integritas proses politik.
Namun, langkah ini bisa dilihat sebagai sinyal keraguan PDIP dalam mendukung penuh pemerintahan Prabowo-Gibran. Jika PDIP benar-benar ingin mendukung pemerintahan ini, publik bertanya-tanya mengapa partai tersebut justru aktif dalam upaya hukum yang dapat melemahkan legitimasi pasangan pemimpin baru ini.
Sikap PDIP Terhadap Jokowi dan Keluarga: Mengapa Tetap Kritis?
Yang juga menarik adalah sikap PDIP yang tampak lebih kritis terhadap mantan Presiden Jokowi dan keluarganya dibandingkan dengan sikap mereka terhadap Prabowo. Di masa pemerintahan Jokowi, PDIP berperan sebagai partai pendukung utama, namun kritik terhadap kebijakan Jokowi dari internal PDIP sering kali mencuat. Bahkan, setelah Jokowi tidak lagi menjabat, PDIP masih tampak belum sepenuhnya selesai dengan mantan presiden tersebut.
Sejumlah pengamat menilai, kritik ini mungkin dipengaruhi oleh faktor politik internal, terutama di tengah pergantian generasi kepemimpinan PDIP yang diprediksi akan berpindah dari Megawati ke Puan Maharani. PDIP seolah-olah berupaya menunjukkan bahwa partai tersebut memiliki independensi dan tidak lagi berada di bawah bayang-bayang pengaruh Jokowi, terlepas dari hubungan historis dan politik di antara mereka.
Dampak Sikap Ambivalen PDIP: Bumerang Politik?
Sikap ambivalen ini bisa berakibat fatal bagi PDIP, terutama dalam situasi politik saat ini, di mana PDIP sedang berjuang memenangkan pilkada serentak. Bukannya fokus untuk meraih kemenangan bagi calon-calon kepala daerahnya, PDIP justru menghabiskan energi dalam gugatan hukum terhadap Gibran dan melontarkan kritik kepada Jokowi.Â