Masalah pendidikan telah menjadi salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa ini selama bertahun-tahun. Pemerintah dan masyarakat sama-sama menyadari betapa pentingnya peran pendidikan dalam memajukan bangsa.Â
Namun, kesadaran saja tidak cukup. Praktek dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih adil dan merata tampaknya menjadi tantangan tersendiri.Â
Yang lebih menyedihkan, setiap kali terjadi perubahan dalam tubuh Kementerian Pendidikan, selalu ada kurikulum yang harus dirombak.
Meskipun perubahan ini seringkali dimaksudkan untuk kebaikan, sayangnya, yang menjadi korban adalah murid---mereka yang seharusnya dilindungi oleh sistem pendidikan.
Sebagai contoh, penulis sendiri merasakan betapa membingungkannya perubahan mendadak dalam kurikulum yang tiba-tiba memperpanjang waktu belajar menjadi satu setengah tahun, hanya untuk diubah kembali tanpa alasan yang jelas.Â
Perubahan ini menciptakan kebingungan di kalangan siswa, guru, dan orang tua. Ini bukan hanya soal perubahan kebijakan, tapi juga soal kestabilan dan kejelasan arah pendidikan.
Pendidikan dan Anggaran: Apakah Uang Selalu Menjadi Solusi?
Satu hal yang sering disebut sebagai akar masalah pendidikan adalah anggaran. Pada tahun 2003, Undang-Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional disahkan, yang di dalamnya mencantumkan kewajiban alokasi 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Harapan besar bahwa dengan meningkatnya anggaran, kualitas pendidikan akan membaik.
Namun, meskipun dana terus meningkat, inti permasalahan pendidikan di Indonesia tidak serta-merta terselesaikan. Tantangan yang dihadapi lebih kompleks daripada sekadar persoalan finansial. Bahkan dengan anggaran besar, tanpa perencanaan yang matang dan eksekusi yang tepat, dana tersebut bisa saja tersia-sia.Â
Masalah utama lainnya terletak pada kualitas dan kesiapan sumber daya manusia, khususnya para pendidik, dan kesenjangan fasilitas pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Kurikulum Merdeka: Harapan yang Mungkin Akan Diubah Lagi?