Kepada Bapak Joko Widodo yang terhormat,
Malam ini, adalah malam terakhir Bapak menyandang predikat sebagai Presiden Republik Indonesia. Sepuluh tahun yang lalu, saya masih ingat ketika Bapak pertama kali melangkah ke Istana Negara dengan senyum yang hangat dan semangat yang menyala.Â
Hari ini, di detik-detik terakhir Bapak sebagai pemimpin negeri ini, saya membayangkan apakah Bapak bisa tidur nyenyak. Sebagai seseorang yang kerap mengalami sulit tidur menjelang peristiwa besar, saya hanya bisa menduga bahwa malam ini terasa panjang bagi Bapak.
Besok, Bapak tidak lagi menyandang gelar itu. Gelar Presiden akan beralih kepada Bapak Prabowo Subianto. Bapak, yang telah sepuluh tahun penuh dedikasi mengabdikan diri untuk Indonesia, kini harus melepaskan jabatan itu dengan segala kenangan yang menyertainya. Lebih dari itu, besok juga akan menjadi momen penting karena putra sulung Bapak, Gibran Rakabuming Raka, akan dilantik sebagai Wakil Presiden. Saya tak bisa membayangkan campur aduknya perasaan Bapak. Mungkin ada kebanggaan, kebahagiaan, tetapi juga ada rasa haru, bahkan cemas.
Bapak Jokowi, sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Saya yakin bahwa selama ini, banyak perasaan yang Bapak simpan sendiri---rasa lelah, kekhawatiran, bahkan mungkin kesedihan yang tak pernah Bapak tunjukkan di hadapan publik. Saya selalu melihat Bapak tersenyum, menyapa masyarakat yang selalu antusias ingin sekadar berfoto, bersalaman, atau berbicara dengan Bapak. Seolah-olah energi Bapak tak pernah habis.
Namun, di balik itu semua, saya juga tahu bahwa akhir-akhir ini Bapak mungkin merasa sedih. Ada sebagian orang yang menuduh Bapak mementingkan diri sendiri dan keluarga, bahkan ada yang terang-terangan menuding Bapak merusak demokrasi. Saya dapat merasakan betapa beratnya menghadapi tuduhan-tuduhan tersebut, terlebih dari orang-orang yang selama ini Bapak coba layani dengan tulus. Sebagai rakyat biasa, saya juga kadang merasa sedih ketika mereka yang berusaha kita bantu malah meragukan niat baik kita.
Mungkin hal yang paling menyakitkan bagi Bapak bukanlah kehilangan kekuasaan, melainkan kehilangan momen-momen kecil yang dulu bisa Bapak nikmati dengan leluasa---berbincang santai dengan warga, bercanda dengan anak-anak di sudut kampung, hingga mendengar langsung keluh kesah rakyat yang Bapak cintai. Mulai besok, Bapak tak lagi bisa melakukan itu sebagai seorang Presiden.
Namun, tentu ada rasa bangga yang tak bisa dipungkiri ketika melihat Gibran, putra Bapak, mengikuti jejak untuk melayani negeri ini. Saya membayangkan sebagai seorang ayah, ada rasa bangga sekaligus khawatir---khawatir apakah Gibran bisa menanggung beban yang sama beratnya seperti yang Bapak rasakan selama sepuluh tahun terakhir. Apakah dia siap menghadapi tantangan yang mungkin bahkan lebih berat dari apa yang Bapak alami? Namun saya yakin, dengan teladan yang Bapak berikan, Gibran telah belajar banyak.
Bapak Presiden, saya ingin berterima kasih. Sebagai rakyat biasa, saya merasakan banyak perubahan selama masa kepemimpinan Bapak. Infrastruktur yang dibangun Bapak telah menghubungkan desa ke kota, membuka akses baru yang dulu sulit dijangkau. Program kesehatan dan pendidikan yang Bapak jalankan telah menyentuh kehidupan banyak orang. Bapak tak hanya membangun jalan dan jembatan, tapi juga mimpi dan harapan bagi generasi masa depan.
Namun, tentu saja, tidak semuanya sempurna. Ada saat-saat ketika kebijakan Bapak mungkin tidak sesuai dengan harapan sebagian dari kami. Saya, sebagai rakyat, juga tak luput dari rasa kecewa. Kadang, saya marah karena merasa kebijakan yang Bapak buat tidak tepat. Kadang, saya meragukan niat baik Bapak, meskipun jauh di lubuk hati saya tahu Bapak telah berusaha sekuat tenaga. Untuk itu, saya juga ingin meminta maaf. Maaf karena kadang terlalu cepat menghakimi, karena terlalu mudah merasa kecewa tanpa memahami sepenuhnya beban yang Bapak pikul.
Bapak Jokowi, malam ini, di detik-detik terakhir sebelum Bapak menyerahkan estafet kepemimpinan, saya ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas dedikasi Bapak selama sepuluh tahun ini. Terima kasih karena Bapak telah memberikan yang terbaik, meski tidak semua orang bisa melihatnya. Saya percaya sejarah yang akan menilai dengan adil.