Keputusan ini memperlihatkan bahwa meskipun Jokowi telah mendukung Ganjar sejak awal, PDIP tetap berusaha menjaga citra bahwa segala keputusan strategis berasal dari Megawati.
Kasus Penolakan Piala Dunia U-20 dan Implikasi Politiknya
Salah satu momen penting yang menciptakan jarak antara Jokowi dan Ganjar adalah penolakan Ganjar terhadap kehadiran tim sepak bola Israel dalam Piala Dunia U-20 di Indonesia. Sikap Ganjar, yang jelas-jelas bertentangan dengan keputusan pusat, menimbulkan kemarahan besar di kalangan pecinta sepak bola dan membuat Jokowi kecewa. Dampaknya, elektabilitas Ganjar menurun drastis, memberikan keuntungan politik bagi Prabowo Subianto yang semakin menguat dalam survei.
Dalam perkembangan berikutnya, Jokowi semakin menunjukkan dukungannya terhadap Prabowo. Prabowo, yang dulunya adalah rival politik Jokowi, kini menjadi sekutu penting dalam pemerintahannya. Hubungan keduanya bahkan mencapai titik di mana Prabowo menginginkan putra Jokowi, Gibran Rakabuming, sebagai calon wakil presiden. Dengan perubahan Undang-Undang yang disetujui oleh Mahkamah Konstitusi, akhirnya Gibran resmi menjadi pasangan Prabowo dalam Pilpres 2024.
PDIP dan Jokowi: Pisah Jalan?
Peristiwa ini menegaskan bahwa Jokowi dan PDIP kini berada di jalur yang berbeda. Meskipun PDIP berusaha mendiskreditkan Jokowi dan keluarganya, hasil survei justru menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih merasa puas dengan kinerja Jokowi. Survei LSI Denny JA mencatat bahwa 80,8% masyarakat puas dengan kepemimpinan Jokowi selama dua periode. Di sisi lain, meskipun PDIP masih meraih kemenangan dalam Pemilu, suara partai ini mengalami penurunan yang signifikan.
Penurunan elektabilitas PDIP dalam Pemilu kali ini menegaskan bahwa hubungan mereka dengan Jokowi tidak lagi sekuat dulu. PDIP mungkin merasa bahwa Jokowi telah "berkhianat," namun dari perspektif pendukung Jokowi, justru PDIP yang telah meninggalkan Jokowi dan mengabaikan dukungan rakyat terhadapnya.
Pesan dan Refleksi
Dari seluruh perjalanan politik Jokowi dan interaksinya dengan PDIP, ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil. Pertama, kepemimpinan politik tidak selamanya harus tunduk pada garis partai yang kaku, terutama ketika seorang kader telah diamanatkan posisi presiden dengan hak prerogatif yang diatur konstitusi. Kedua, politik sentralistik seperti yang diterapkan PDIP mungkin akan menghadapi tantangan lebih besar di masa depan jika partai tidak mampu beradaptasi dengan dinamika politik modern. Ketiga, PDIP perlu memahami bahwa loyalitas kader tidak selalu bisa dipaksakan, terutama ketika partai mengabaikan aspirasi yang lebih besar dari rakyat.
Ke depan, hubungan Jokowi dan PDIP mungkin akan terus menjadi topik yang menarik untuk diperhatikan. Apakah PDIP akan belajar dari peristiwa ini dan melakukan reformasi internal? Atau apakah Jokowi akan terus melanjutkan jalannya sendiri, terpisah dari partai yang membesarkannya?
Yang pasti, sejarah telah mencatat bahwa dalam perjalanan politik 10 tahun terakhir, Jokowi telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang mampu beradaptasi, menghadapi tantangan, dan membawa perubahan, baik untuk Indonesia maupun dalam dinamika partai politik yang mendukungnya.***MG