Jokowi tidak hanya menjadi sosok sentral dalam perpolitikan Indonesia, tetapi juga menghadirkan dinamika menarik dalam hubungannya dengan partai yang mengusungnya, PDIP. Dari awal kariernya sebagai Walikota Solo, hingga menjadi Presiden RI dua periode, Jokowi selalu berada dalam bayang-bayang partai berlambang banteng tersebut. Namun, meski PDIP menjadi partai yang berjasa bagi perjalanan politiknya, hubungan Jokowi dengan partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri tidak selalu mulus.
Selama satu dekade kepemimpinannya,Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa Jokowi, meskipun memiliki prestasi gemilang di dunia politik, tidak pernah diberi posisi strategis dalam kepengurusan PDIP? Apakah PDIP, yang sangat terikat dengan trah Soekarno, melihat Jokowi sebagai ancaman terhadap eksistensi partai ini?
Hubungan Jokowi dengan PDIP: Dukungan yang Berliku
PDIP merupakan partai yang mendukung Jokowi sejak awal karier politiknya, mulai dari Pilkada Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Pilpres. Namun, meskipun menjadi kader penting, Jokowi tidak pernah diberikan posisi strategis di kepengurusan PDIP. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa ada jarak yang terbentuk antara Jokowi dan elite partai, khususnya Megawati Soekarnoputri.
Dalam internal PDIP, meski Jokowi merupakan bagian dari partai, tak sedikit yang bersikap kritis terhadapnya. Tokoh-tokoh seperti Effendi Simbolon, Masinton Pasaribu, dan Arteria Dahlan kerap melontarkan kritik yang tajam terhadap kebijakan Jokowi, seolah-olah PDIP adalah oposisi. Padahal, PDIP adalah partai pengusung utama Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019.
Hal ini menandakan bahwa meskipun Jokowi adalah "petugas partai," posisinya sebagai Presiden memberikan hak prerogatif yang tidak selalu sejalan dengan keinginan Megawati dan PDIP. Kepemimpinan PDIP yang sangat sentralistik di bawah Megawati, di mana setiap keputusan penting harus melalui restu Megawati, semakin memperjelas adanya dinamika kekuasaan yang tidak mudah bagi Jokowi.
Sentralisme PDIP: Alasan di Balik Kebijakan?
Sentralisme di PDIP bukan tanpa alasan. Megawati memegang kendali penuh atas partai dengan tujuan menjaga kesinambungan dan kekuatan trah Soekarno di dalam politik Indonesia. Anggota PDIP diwajibkan tunduk pada garis kebijakan partai, di mana "petugas partai" harus mengikuti arahan Megawati tanpa syarat. Megawati, sebagai sosok yang tak tergantikan dalam partai, seringkali dianggap sebagai simbol kestabilan PDIP. Namun, sentralisme ini juga menjadi sumber ketegangan ketika Jokowi, yang memiliki hak prerogatif sebagai Presiden, tidak selalu bisa tunduk pada kepentingan partai.
Simpang Jalan Jokowi dan PDIP: Pemilihan Capres
Titik perpecahan hubungan Jokowi dan PDIP semakin kentara ketika tiba saatnya memilih calon presiden untuk periode berikutnya. Jokowi, sebagai kader yang loyal, sempat mendorong Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDIP. Data survei pun mendukung, mayoritas masyarakat Indonesia ingin melihat Ganjar menggantikan Jokowi.
Namun, Megawati lebih memilih mengusung Puan Maharani, putri kandungnya, sebagai calon presiden. Baliho-baliho Puan tersebar di berbagai penjuru negeri, tetapi hasil survei tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam elektabilitasnya. Pada akhirnya, Megawati harus mengalah pada kenyataan dan mendukung Ganjar, namun narasinya dibuat seolah-olah pencalonan Ganjar adalah murni pilihan Megawati, bukan Jokowi.