Birokrasi dan korupsi, dua masalah yang saling berkait, telah menjadi penyakit menahun yang menghantui Indonesia sejak lama. Dalam masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sadar betul akan betapa mendalamnya komplikasi yang ditimbulkan kedua masalah ini. Pada periode keduanya, Jokowi berupaya memperbaiki keadaan melalui reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, dengan fokus pada peningkatan sumber daya manusia serta penyederhanaan mekanisme birokrasi. Namun, tantangan yang dihadapinya sangat besar, bahkan di luar dugaan.Birokrasi: Monster yang Membelit
Birokrasi seharusnya menjadi instrumen yang efektif dan efisien untuk melayani masyarakat. Namun, di Indonesia, birokrasi kerap kali berbelit-belit, sarat dengan prosedur yang rumit, dan mahal. Setiap meja birokrasi menjadi lahan subur bagi suap dan upeti. Kalimat sinis seperti, "Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?" yang semula hanya dianggap guyonan, ironisnya berubah menjadi prosedur operasional standar (SOP) di banyak lembaga pemerintahan.
Jokowi paham betul bahwa reformasi birokrasi adalah kunci utama jika ia ingin memperbaiki kualitas pelayanan publik. Langkah awalnya terlihat berani---dari penyederhanaan izin usaha hingga penerapan sistem layanan publik berbasis teknologi informasi atau online. Melalui kebijakan Online Single Submission (OSS), Jokowi memangkas banyak meja birokrasi yang selama ini menjadi tempat favorit para pelaku pungutan liar. Namun, masalahnya bukan hanya pada sistem, melainkan pada mentalitas para birokrat yang sudah terbiasa bermain dengan aturan main lama.
Salah satu persoalan utama adalah bagaimana teknologi yang dirancang untuk mempermudah urusan malah dipelintir menjadi penghambat baru. Tak jarang, birokrat yang malas kehilangan 'lahan basah' memanfaatkan sistem tersebut untuk kepentingan pribadi. Sistem online yang seharusnya memotong jalur suap dan tatap muka malah diklaim sering mengalami "gangguan teknis" sehingga akhirnya publik harus kembali berurusan secara manual---kembali ke pola lama yang membuka celah bagi pungli dan korupsi kecil-kecilan.
Jokowi tidak tinggal diam. Berkali-kali ia melakukan shock therapy, melaporkan langsung kasus pungli yang ia temukan di lapangan kepada pejabat dan institusi hukum yang berwenang. Setelah itu, operasi besar-besaran digelar, satgas dibentuk, dan layanan diperbaiki. Namun, dampaknya hanya bersifat sementara. Tak lama, kondisi kembali normal, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Birokrasi memang sulit diubah hanya dengan ancaman atau reformasi administratif belaka; diperlukan perubahan mentalitas yang lebih mendalam.
Korupsi: Penyakit yang Sudah Mendarah Daging
Jika birokrasi adalah masalah akut, korupsi adalah penyakit yang telah menjadi kronis. Korupsi di Indonesia sudah seperti budaya. Sulit disangkal bahwa praktik ini sudah mendarah daging di berbagai lini kehidupan. Jokowi berusaha memberantasnya dengan segala daya. Melalui KPK dan aparat penegak hukum lainnya, banyak kasus korupsi besar yang berhasil diungkap, bahkan beberapa melibatkan menteri dalam kabinetnya sendiri, seperti kasus Edhy Prabowo dan Juliari Batubara yang menjadi sorotan publik.
Penangkapan para pejabat tinggi negara ini membuktikan bahwa tidak ada toleransi bagi korupsi di era Jokowi, bahkan untuk orang-orang terdekatnya. Namun, ini tidak serta-merta membuat para koruptor jera. Urat takut para pelaku korupsi tampaknya sudah putus. Bahkan setelah berulang kali dilakukan operasi tangkap tangan (OTT), praktik korupsi terus terjadi.
Jokowi sebenarnya telah mencoba berbagai cara untuk mengatasi masalah ini. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan memperkenalkan RUU Perampasan Aset, yang diharapkan dapat membuat koruptor berpikir dua kali sebelum merampok uang negara. Sayangnya, RUU ini mendapat penolakan dari DPR, sehingga hingga akhir masa jabatannya, undang-undang tersebut belum juga disahkan. Kegagalan ini menjadi pukulan besar bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Tantangan terbesar dalam pemberantasan korupsi bagi Jokowi tidak hanya datang dari para pelaku di lapangan, tapi juga dari wakil rakyat di DPR. Dalam kasus revisi UU KPK, Jokowi harus menghadapi tekanan politik yang sangat besar. Saat DPR bersikeras untuk melemahkan KPK melalui revisi undang-undang, Jokowi terkesan sulit untuk melawan. Meski komitmennya terhadap pemberantasan korupsi tidak diragukan, banyak kalangan mengkritik persetujuan Jokowi terhadap revisi ini sebagai bentuk tunduk terhadap kepentingan politik DPR, yang berakibat pada berkurangnya kewenangan KPK dalam menjalankan tugasnya.
Keberhasilan dan Kekurangan Jokowi