Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi 10 Tahun Jokowi: Merebut Sumber Daya Alam, Merebut Harga Diri Bangsa

15 Oktober 2024   10:28 Diperbarui: 15 Oktober 2024   11:24 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Kompas.com

Indonesia, sebuah negara yang diberkahi dengan kekayaan alam yang melimpah. Hutan yang luas, tambang yang kaya akan emas, nikel, timah, bauksit, dan berbagai komoditas lainnya, lautan yang penuh dengan hasil laut, serta perkebunan yang menghasilkan beragam komoditas unggulan. 

Potensi ini seharusnya menjadikan Indonesia sebagai negara yang sejahtera, di mana rakyatnya menikmati kekayaan alam yang melimpah. Namun, kenyataan selama beberapa dekade sebelum pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berbicara lain. Kekayaan alam yang berlimpah tersebut lebih banyak dinikmati oleh pihak asing, sementara rakyat Indonesia masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Jokowi sangat menyadari realitas ini. Dalam refleksi 10 tahun pemerintahannya, salah satu kebijakan paling menonjol adalah upayanya untuk "merebut" kembali kekayaan sumber daya alam Indonesia, demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkokoh kedaulatan ekonomi bangsa. 

Dengan tekad yang kuat, Jokowi mengambil langkah-langkah strategis untuk memulihkan kontrol negara atas sumber daya alam, melalui pengambilalihan perusahaan asing, peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi, serta berbagai kebijakan lainnya yang menjadikan Indonesia sebagai pemain yang lebih dominan di panggung ekonomi global.

Merebut Freeport: Mengembalikan Kendali pada Negara

Salah satu pencapaian terbesar Jokowi dalam merebut kendali atas sumber daya alam Indonesia adalah pengambilalihan saham mayoritas PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang raksasa yang mengelola tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang terletak di Grasberg, Papua. Selama lebih dari lima dekade, Freeport dikuasai oleh perusahaan asing, sementara Indonesia hanya menikmati sebagian kecil keuntungan dari tambang tersebut.

Pada tahun 2018, setelah negosiasi yang panjang dan sulit, pemerintah Indonesia melalui PT Inalum (sekarang MIND ID) berhasil mengambil alih 51,23% saham Freeport. Ini adalah langkah besar dalam sejarah pengelolaan sumber daya alam Indonesia, di mana negara kini memiliki kendali mayoritas atas salah satu aset tambang terbesar di dunia.

Pengambilalihan ini bukan hanya soal ekonomi. Ini adalah soal harga diri bangsa. Jokowi dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan alam Indonesia harus dinikmati oleh rakyat Indonesia. Penguasaan mayoritas Freeport adalah simbol bahwa Indonesia tidak lagi hanya menjadi penonton di negeri sendiri, tetapi kini menjadi aktor utama dalam mengelola kekayaan yang ada di bumi pertiwi.

Smelter dan Hilirisasi: Menambah Nilai Sumber Daya Alam

Namun, Jokowi tidak berhenti hanya pada pengambilalihan Freeport. Ia juga menerapkan kebijakan hilirisasi sumber daya alam, yang berarti bahwa bahan mentah yang diekspor harus diolah terlebih dahulu di dalam negeri, sehingga menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Sebelum era Jokowi, Indonesia banyak mengekspor bahan mentah seperti nikel, tembaga, bauksit, dan timah, tanpa pengolahan lebih lanjut. Akibatnya, nilai ekonominya sangat rendah, sementara negara-negara yang mengimpor bahan mentah tersebut menikmati keuntungan besar dari proses pengolahan.

Melalui kebijakan hilirisasi, Jokowi mewajibkan perusahaan-perusahaan tambang untuk membangun smelter di dalam negeri. Smelter adalah fasilitas pengolahan bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi. Sebagai contoh, pada tahun 2020, Jokowi melarang ekspor bijih nikel mentah dan mewajibkan perusahaan untuk mengolah nikel tersebut di dalam negeri menjadi produk seperti ferronikel atau stainless steel.

Kebijakan ini memberikan manfaat ganda bagi Indonesia. Pertama, produk yang dihasilkan memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi dibandingkan bahan mentah. Kedua, hilirisasi menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri pengolahan, yang sangat dibutuhkan oleh negara dengan populasi besar seperti Indonesia. Selain itu, kebijakan ini juga memperkuat posisi Indonesia di pasar global sebagai produsen produk olahan nikel terbesar, yang sangat penting untuk industri baterai dan kendaraan listrik di masa depan.

Tantangan dari Dalam dan Luar Negeri

Kebijakan Jokowi untuk mengambil alih kendali atas sumber daya alam dan mendorong hilirisasi tentu tidak berjalan mulus. Di kancah internasional, Indonesia menghadapi berbagai tantangan hukum dan ekonomi. Beberapa negara yang selama ini bergantung pada bahan mentah Indonesia menggugat kebijakan larangan ekspor tersebut di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Salah satu kasus yang paling menonjol adalah gugatan Uni Eropa terhadap kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia.

Meskipun kalah dalam gugatan di WTO, Jokowi tetap teguh dengan kebijakan hilirisasi. Baginya, ini bukan hanya soal perdagangan internasional, tetapi soal kedaulatan ekonomi dan harga diri bangsa. "Kita tidak boleh terus-menerus menjadi eksportir bahan mentah. Sudah cukup. Kita harus naik kelas," tegas Jokowi. Indonesia memang kalah di meja hukum internasional, tetapi kebijakan hilirisasi tetap berjalan dan menjadi salah satu pilar ekonomi di masa depan.

Di dalam negeri, kebijakan hilirisasi juga mendapatkan kritik. Beberapa pihak menilai bahwa industri pengolahan di Indonesia belum siap untuk menyerap semua bahan mentah yang sebelumnya diekspor. Ada juga kritik bahwa meskipun hilirisasi dilakukan, keuntungan besar dari industri ini tetap dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Kritik ini muncul dari berbagai kalangan, baik akademisi, pengusaha, maupun politikus yang mempertanyakan efektivitas hilirisasi dalam jangka panjang.

Namun, ada spekulasi bahwa kritik ini juga dipengaruhi oleh pihak-pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan besar dari ekspor bahan mentah. Dengan adanya hilirisasi, mereka tidak lagi bisa menikmati keuntungan mudah dari penjualan bahan mentah ke luar negeri, sehingga gigit jari dengan kebijakan baru ini.

Indonesia Emas: Harapan dan Tantangan ke Depan

Salah satu tujuan jangka panjang Jokowi dengan kebijakan pengelolaan sumber daya alam adalah mempersiapkan Indonesia menuju visi "Indonesia Emas" pada tahun 2045, ketika Indonesia diharapkan menjadi negara maju dengan perekonomian yang kuat dan berkelanjutan. Hilirisasi dan penguasaan atas sumber daya alam menjadi salah satu fondasi utama untuk mewujudkan visi tersebut.

Jokowi percaya bahwa dengan pengelolaan yang tepat, Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam industri global, terutama di sektor-sektor strategis seperti energi terbarukan, baterai kendaraan listrik, dan industri pengolahan mineral. Namun, untuk mencapai visi tersebut, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Infrastruktur smelter masih harus diperluas, regulasi perlu diperkuat, dan kesiapan tenaga kerja harus terus ditingkatkan.

Selain itu, diperlukan juga komitmen dari pemerintahan setelah Jokowi untuk melanjutkan kebijakan ini. Hilirisasi adalah kebijakan jangka panjang yang manfaatnya mungkin tidak langsung dirasakan dalam waktu dekat. Oleh karena itu, kontinuitas kebijakan menjadi sangat penting agar visi Indonesia Emas bisa terwujud.

Refleksi dan Pesan Jokowi

Dalam refleksi 10 tahun pemerintahannya, kebijakan pengelolaan sumber daya alam menjadi salah satu warisan penting Jokowi. Upayanya untuk mengambil alih kendali atas kekayaan alam Indonesia, mendorong hilirisasi, dan melawan tekanan internasional menunjukkan tekad kuatnya untuk memperjuangkan kepentingan nasional.

Bagi Jokowi, sumber daya alam Indonesia bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal harga diri bangsa. Indonesia tidak boleh lagi menjadi negara yang hanya mengekspor bahan mentah dengan nilai rendah, sementara negara lain menikmati keuntungan dari produk-produk olahan. Indonesia harus menjadi negara yang berdaulat secara ekonomi, di mana kekayaan alamnya bisa meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Namun, upaya Jokowi ini tidak bisa dilakukan sendirian. Perlu dukungan dari seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia benar-benar bisa dikelola dengan baik untuk kepentingan nasional. Ke depan, tantangan masih ada, tetapi dengan tekad dan komitmen yang kuat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi negara maju yang berdaulat atas kekayaannya sendiri.

Dengan refleksi ini, kita bisa melihat bahwa dalam 10 tahun terakhir, Jokowi telah meletakkan fondasi penting bagi masa depan Indonesia. Kini saatnya bagi kita semua untuk melanjutkan perjuangan ini, merebut sumber daya alam kita, dan merebut harga diri negeri.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun