Jokowi, terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2014, dia menghadapi tantangan yang luar biasa besar. Di satu sisi, rakyat sangat mengharapkan perubahan cepat dan nyata untuk mengatasi berbagai masalah yang menghimpit bangsa ini: korupsi, birokrasi yang tidak efektif, kinerja pejabat negara yang lamban, dan kemiskinan yang merajalela. Di sisi lain, Jokowi harus berhadapan dengan sistem politik dan birokrasi yang penuh dengan kepentingan, yang sering kali tidak ramah terhadap pemimpin yang sungguh-sungguh ingin melayani rakyat.
Ketika Joko Widodo, atau yang akrab disapaJokowi bukanlah sosok politik yang lama malang melintang di panggung nasional. Ia bukan bagian dari kalangan elite politik maupun militer, apalagi keturunan keluarga penguasa di masa lalu.Â
Terpilihnya Jokowi sebagai presiden menggegerkan panggung politik Indonesia, karena ia lahir dari kalangan bawah sebagai pengusaha mebel yang kemudian menapaki jalur politik sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Sosoknya sederhana, tanpa basa-basi, namun disambut dengan skeptisisme oleh banyak pihak, bahkan dari partainya sendiri.
Tantangan Politik: Dari Dalam dan Luar PDIP
Walaupun PDIP menjadi kendaraan politik utama Jokowi untuk maju dalam Pilpres 2014, tidak semua tokoh partai tersebut mendukung penuh kepemimpinannya. Beberapa tokoh PDIP bahkan sering kali melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan-kebijakannya, seakan-akan mereka adalah oposisi.Â
Salah satu contohnya adalah politisi senior PDIP, Rieke Diah Pitaloka, yang menyoroti kebijakan ekonomi Jokowi, khususnya yang berkaitan dengan tenaga kerja dan kesejahteraan rakyat. Di lain pihak, politisi PDIP lainnya, Effendi Simbolon, juga tidak jarang melontarkan kritik terhadap kebijakan pertahanan dan penanganan isu keamanan nasional.
Meski demikian, Jokowi tetap tenang dan konsisten dalam menjalankan visinya. Ia tidak membalas serangan kritik tersebut dengan retorika, melainkan dengan kebijakan nyata yang menunjukkan ketegasan dan keberanian dalam memimpin.
Menunjukkan Nyali: Pembubaran Petral
Langkah besar pertama yang menunjukkan keberanian Jokowi dalam menghadapi kekuatan-kekuatan besar di balik layar adalah pembubaran Pertamina Trading Energy Limited (Petral) pada Mei 2015. Petral telah lama menjadi simbol korupsi di sektor migas, dimana perusahaan ini berperan sebagai perantara dalam pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) impor. Namun, operasionalnya penuh dengan ketidaktransparanan, menciptakan banyak celah untuk praktik-praktik korupsi.
Pembubaran Petral menjadi langkah konkret dalam upaya pemberantasan mafia migas yang selama ini tak tersentuh oleh pemerintah sebelumnya. Investigasi yang dilakukan pasca pembubaran Petral mengungkap adanya berbagai penyimpangan yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Keputusan ini tidak hanya membuktikan komitmen Jokowi dalam memberantas korupsi, tetapi juga menunjukkan bahwa ia tidak takut menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan yang selama ini menikmati keuntungan dari skema ini.
Kebijakan Subsidi BBM: Harga yang Adil untuk Semua
Keputusan kontroversial lainnya yang diambil Jokowi di awal pemerintahannya adalah pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi BBM yang selama bertahun-tahun menjadi beban besar bagi anggaran negara dirombak secara drastis oleh Jokowi. Kebijakan ini diterapkan agar harga BBM bisa lebih rasional dan merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil seperti Papua.