Sepuluh tahun lalu, siapa yang mengenal Joko Widodo atau Jokowi? Mungkin hanya segelintir orang di lingkaran terbatas, terutama di kalangan bisnis mebel. Tak ada yang menyangka bahwa pria yang dulunya dikenal sebagai tukang kayu dan pengusaha mebel ini akan menduduki jabatan tertinggi di negeri ini. Jokowi tidak lahir dari keluarga politik berpengaruh, bukan trah biru, apalagi tokoh yang kerap menghiasi media massa nasional. Ia hanyalah anak rakyat biasa yang memulai perjalanannya dari bawah, seorang yang memahami kehidupan rakyat kecil karena ia adalah bagian dari mereka. Namun, perjalanan hidupnya adalah kisah penuh inspirasi yang memperlihatkan bahwa dengan tekad, visi, dan kerja keras, seseorang bisa mencapai puncak kekuasaan, meskipun berangkat dari kalangan yang sederhana.Awal Mula: Dari Tukang Kayu ke Walikota Solo
Nama Joko Widodo mulai dikenal publik ketika ia menjabat sebagai Walikota Solo. Sebelum itu, kariernya tak banyak dilirik oleh media, baik lokal maupun nasional. Jokowi, panggilan akrabnya, mengawali kariernya sebagai pengusaha mebel yang sukses. Nama Jokowi adalah singkatan dari Joko Widodo, yang diberikan oleh rekan bisnisnya dari luar negeri, sebuah nama yang kelak menjadi simbol gaya kepemimpinan sederhana namun efektif.
Sebagai Walikota Solo, Jokowi segera menunjukkan ciri khas kepemimpinannya: mendengarkan masyarakat. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah ketika ia berhasil merelokasi para pedagang kaki lima yang telah lama memenuhi jalan-jalan di Solo. Alih-alih menggunakan pendekatan represif yang biasa dilakukan oleh banyak pemimpin daerah lainnya, Jokowi memilih untuk berdialog. Ia mengundang para pedagang untuk berdiskusi, mencari solusi bersama. Relokasi yang biasanya menimbulkan keributan, justru berjalan lancar berkat pendekatan demokratis dan partisipatif yang ia terapkan. Ini adalah bukti awal dari kepemimpinan Jokowi yang merakyat, mengutamakan negosiasi, dan tidak bergantung pada kekuatan paksa.
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami berbagai perubahan positif. Penataan kota, revitalisasi pasar tradisional, serta berbagai program pembangunan membuat kota itu semakin dikenal. Namanya semakin berkibar ketika ia terlibat konflik dengan Gubernur Jawa Tengah saat itu. Sikap tegas Jokowi yang membela kepentingan masyarakat luas daripada tunduk pada birokrasi politik membuatnya semakin dihargai oleh warga. Dalam dua periode sebagai Walikota Solo, Jokowi membuktikan bahwa pemimpin yang memihak pada rakyat, meskipun sederhana, bisa membawa perubahan besar.
Dari Solo ke Jakarta: Menembus Panggung Nasional
Setelah sukses memimpin Solo, Jokowi dilirik oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk maju dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012. Jakarta adalah ibu kota negara, pusat segala perhatian, dan memimpin kota ini merupakan tantangan tersendiri. Bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang saat itu menjadi calon Wakil Gubernur, Jokowi menghadapi lawan yang cukup kuat: gubernur petahana. Namun, Jokowi-Ahok hadir dengan pendekatan yang berbeda.
Jokowi mengusung kampanye yang sangat khas: blusukan. Ia turun langsung ke tengah masyarakat, mengunjungi gang-gang sempit, bertemu dengan warga, dan mendengar keluhan mereka tanpa jarak. Blusukan yang awalnya dipandang remeh justru menjadi ciri khas Jokowi, yang menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat. Masyarakat Jakarta pun merespons positif gaya kepemimpinannya yang merakyat ini. Dengan kampanye yang penuh warna dan seragam kotak-kotak yang ikonik, Jokowi dan Ahok berhasil memenangkan hati warga Jakarta.
Selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi langsung bekerja keras menangani masalah-masalah yang sudah lama menghantui ibu kota: kemacetan, banjir, dan tata ruang kota. Ia memperbaiki transportasi umum, merencanakan pembangunan MRT, serta membersihkan kali-kali di Jakarta untuk mengatasi banjir. Keputusannya yang cepat dan fokus pada hasil membuat popularitasnya terus meroket.
Naik ke Panggung Nasional: Jokowi di Pilpres 2014
Tak lama setelah menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta, nama Jokowi mulai diperhitungkan di tingkat nasional. Pada 2014, PDIP resmi mencalonkan Jokowi sebagai kandidat presiden. Meskipun bukan pengurus inti PDIP, popularitas Jokowi yang tak terbendung membuat partai tersebut yakin bahwa ia adalah pilihan terbaik. Pencalonannya sempat mengejutkan, karena ia dianggap belum cukup lama berkiprah di Jakarta. Namun, masyarakat melihatnya sebagai sosok pemimpin yang bisa membawa perubahan.
Pilpres 2014 menjadi salah satu pemilihan presiden paling panas dalam sejarah Indonesia, di mana Jokowi berhadapan dengan Prabowo Subianto. Kampanye yang penuh ketegangan ini bahkan melahirkan istilah-istilah baru seperti "Cebong" dan "Kadrun", yang menggambarkan fanatisme dua kubu pendukung. Meskipun menghadapi polarisasi yang tajam, Jokowi berhasil memenangkan Pilpres dan menjadi Presiden Republik Indonesia.