Roma, kota yang tak pernah tidur dalam sejarah, seni, dan keindahan, telah memberikan begitu banyak pengalaman luar biasa selama tujuh hari ini. Rasanya waktu yang singkat itu belum cukup untuk menyelami seluruh pesonanya. Meskipun kami telah menjelajahi situs-situs megah seperti Colosseum, Vatikan, hingga Piazza Navona, masih ada begitu banyak yang belum kami sentuh, termasuk kota-kota kecil di sekitar Roma yang memesona: Frascati dan Castel Gandolfo.
Frascati: Pesona Bukit Anggur dan Sejarah Kuno
Seharusnya, di hari terakhir sebelum kembali ke Jakarta, kami ingin mengunjungi Frascati, sebuah kota kecil yang hanya berjarak 45 menit dengan kereta dari Stasiun Termini. Saya pernah ke Frascati beberapa tahun lalu, dan ingatan itu masih segar---jalan-jalan berliku yang dipenuhi kafe kecil, angin sejuk dari perbukitan, dan aroma anggur segar yang semerbak.
Frascati terkenal dengan anggurnya, terutama anggur putih yang menjadi andalannya sejak zaman Romawi. Dari zaman Kekaisaran Romawi, Frascati menjadi tujuan bagi aristokrat Romawi yang membangun vila-vila megah di atas bukit-bukitnya. Salah satu bangunan yang tak boleh dilewatkan adalah Villa Aldobrandini, dengan arsitektur Barok yang memukau. Dari sini, Anda bisa memandangi Roma yang terbentang di kejauhan, seperti lukisan yang hidup.
Berjalan-jalan di Frascati memberikan suasana berbeda dari Roma yang penuh turis. Di sini, kehidupan bergerak lebih lambat. Kita bisa duduk di teras sebuah kafe, memesan segelas anggur lokal dan sepotong pizza atau seporsi lasagna lezat. Rasanya, waktu berhenti sejenak saat kita menikmati keindahan pedesaan Italia ini.
Castel Gandolfo: Istana Paus dan Danau Albano yang Tenang
Tak jauh dari Frascati, hanya sekitar 30 menit perjalanan, terletak Castel Gandolfo, sebuah desa kecil yang dikenal sebagai tempat peristirahatan Paus. Desa ini terletak di tepi Danau Albano, dan suasananya jauh lebih spiritual dan tenang dibandingkan Roma yang selalu sibuk. Palazzo Apostolico---tempat tinggal musim panas Paus---menjadi daya tarik utama di Castel Gandolfo. Sejak tahun 2016, istana ini dibuka untuk umum oleh Paus Fransiskus, sehingga kita bisa menyaksikan keindahan istana dan taman-taman megah yang tersembunyi di balik dinding-dindingnya.
Berjalan di sekitar Danau Albano, kita bisa merasakan kedamaian yang luar biasa. Pantulan langit biru di permukaan air dan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara angin dan burung membuat kita akan berpikir: inilah Italia yang sebenarnya---tenang, penuh keindahan alam, dan sejarah yang berlapis-lapis.
Mengunjungi EUR dan Piramide: Sekilas Modernitas di Roma
Namun, karena waktu yang terbatas, kami harus menunda perjalanan ke Frascati dan Castel Gandolfo. Sebagai gantinya, kami menghabiskan hari terakhir kami di Roma dengan mengunjungi EUR dan Piramide, dua kawasan yang menawarkan sisi lain dari Roma yang mungkin tak banyak dikenal wisatawan.
EUR adalah kawasan modern yang dirancang oleh Mussolini untuk menjadi simbol kejayaan fasisme Italia. Bangunan-bangunan di sini penuh dengan elemen arsitektur modernis, seperti Palazzo della Civilt Italiana, yang dikenal sebagai "Colosseum Kecil" karena bentuknya yang penuh lengkungan. Suasana EUR kontras dengan pusat kota Roma yang klasik, memberikan pandangan tentang Roma yang lebih modern dan fungsional.
Setelah EUR, kami menuju Piramide Cestia, sebuah makam kuno yang dibangun pada abad pertama sebelum Masehi. Letaknya tidak jauh dari Stasiun Termini, dan piramida ini adalah salah satu peninggalan Romawi yang unik, mengingatkan kita akan hubungan antara Roma dan Mesir kuno.
Perjalanan Menuju Fiumicino:Â Meninggalkan Roma dengan Berat HatiÂ
Sore itu, setelah check-out dari hotel, kami menuju halte bus di samping Stasiun Termini untuk naik bus menuju Bandara Fiumicino. Meski kami sudah membeli tiket bus untuk jam 15.30, kami dapat naik bus yang lebih awal karena masih ada kursi kosong---cukup fleksibel dan nyaman. Harga tiket bus menuju Fiumicino hanya 8 Euro, jauh lebih murah daripada taksi yang bisa mencapai 100 Euro.
Sepanjang perjalanan ke bandara, kami masih bisa menikmati pemandangan kota Roma. Melewati Basilica Santa Maria Maggiore, kami melintasi benteng kota yang megah dan bangunan-bangunan berciri khas Romanum, blok-blok apartemen yang berjejer dengan elegan.Â
Semakin jauh meninggalkan kota, semakin jelas terlihat perbukitan yang dipenuhi vila-vila kecil, kebun anggur, dan pohon zaitun. Roma, kota penuh sejarah dan seni, perlahan menghilang di belakang kami, sementara kami meluncur menuju bandara.
Bandara Fiumicino, dengan gaya arsitektur modern dan fasilitas lengkap, menyambut kami dengan kesibukan khas bandara internasional. Ada beberapa terminal di Fiumicino, dan kami tiba di Terminal 3, terminal untuk penerbangan internasional. Setelah check-in dan menunggu di ruang tunggu yang dipenuhi deretan toko, perasaan sentimentil mulai merayapi hati. Roma, dengan segala keindahannya, sudah meninggalkan jejak yang mendalam.
Dari Roma ke Zurich dan Singapura: Perjalanan Pulang yang Menyentuh
Pesawat Swiss Air yang kami tumpangi lepas landas tepat waktu. Saat meninggalkan Roma, saya menatap jendela, melihat kota ini perlahan mengecil dan hilang di balik awan. Ada perasaan rindu yang aneh, meskipun baru beberapa jam meninggalkan kota ini. Penerbangan menuju Zurich hanya memakan waktu sekitar dua jam, namun setiap detiknya terasa sentimental. Zurich hanya menjadi tempat transit satu jam bagi kami sebelum melanjutkan penerbangan panjang menuju Singapura.
Di pesawat Swiss Air, suasana terasa hangat. Pramugari dan pramugara yang ramah, dengan senyum natural yang terasa tulus, menyambut kami. Saat matahari terbenam, kami disuguhi berbagai pilihan makanan dan minuman, termasuk menu vegetarian. Meskipun penerbangan Zurich-Singapura memakan waktu 12 jam, perjalanan itu terasa nyaman, terutama karena ini adalah waktu untuk tidur. Ketika pagi tiba, kami disambut dengan sarapan pagi sebelum mendarat di Singapura.Â
Akhir yang Manis di Langit Jakarta
Saat mendarat di Soekarno-Hatta, saya memandang keluar jendela pesawat dan melihat lampu-lampu kota Jakarta yang terang. Namun, pikiran saya kembali melayang ke Roma---kota abadi yang, meskipun hanya tujuh hari di sana, telah meninggalkan kesan mendalam. Di jam yang sama beberapa hari lalu, saya masih berjalan di lorong-lorong sempit Roma, menikmati suara air mancur di Piazza Navona, atau menyusuri koridor di Vatikan.
Satu hal yang saya sesali adalah saya lupa melempar koin di Fontana di Trevi, koin yang konon katanya akan memastikan kita kembali ke Roma suatu hari nanti. Namun, saya tetap berharap---bahwa lemparan koin saya 25 tahun lalu masih berkhasiat. Siapa tahu, suatu hari nanti, saya akan kembali lagi ke Roma. Ciao, arrivederci Roma. Semoga kita berjumpa lagi.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H