Aku berdiri di senjakala senja, menyaksikan langit yang memerah, seperti hatiku yang tak pernah berhenti merindukan ketenangan. Di depan sana, hamparan sawah yang mulai mengering mengingatkanku pada lahan yang semakin sulit memberi hasil. Begitu pun dengan hidupku yang kian hari kian terasa menipis, seperti padi yang tak kunjung menguning.Aku menggenggam cangkul tua di tangan, alat yang setia menemaniku bertahun-tahun.Â
Di ujung mataku, kulihat bayangan tipis rumah kayu yang menjadi saksi bisu perjuanganku. Di sanalah keluargaku menunggu, istri yang semakin lemah dan anak-anak yang terus tumbuh meski perut mereka kerap kosong. Aku ingin mereka hidup layak, tidak seperti aku yang bergulat dengan tanah yang semakin tandus.
Dulu, sawah ini memberi banyak. Setiap kali aku menanam, aku bisa pulang dengan senyum, membawa karung-karung padi dan buah tangan untuk mereka. Tapi, sekarang semuanya berbeda. Hujan yang jarang turun, hama yang datang tak diundang, dan harga pasar yang tak pernah memihak. Semua itu merampas apa yang dulu kuyakini akan menjadi masa depan keluargaku. Aku merasa kalah, tapi aku tak boleh menyerah. Tidak untuk mereka.
Aku ingat, malam itu ketika anakku yang sulung, Rani, bertanya, "Pak, kenapa kita harus makan nasi yang keras terus? Teman-temanku di sekolah cerita, mereka makan daging. Rani juga ingin, Pak." Kata-katanya seperti duri yang menusuk dadaku, tapi aku hanya bisa tersenyum samar dan berkata, "Sabar ya, Nak. Nanti kalau panen berhasil, kita bisa makan daging setiap hari."
Namun panen tak pernah benar-benar berhasil lagi. Sejak malam itu, aku sering terbangun dalam gelap, memikirkan apa yang bisa kulakukan. Aku bahkan pernah berpikir untuk menjual sawah ini dan mencari pekerjaan lain di kota. Tapi apa yang bisa kulakukan di sana? Aku hanya tahu cara bekerja dengan tanah dan cangkul, bukan mesin-mesin besar yang mereka gunakan di pabrik.
Suatu hari, istri memanggilku dari ambang pintu. "Pak, Rani demam. Aku sudah coba kasih obat, tapi panasnya tak turun juga." Kulihat wajah istriku yang pucat, tapi lebih pucat lagi hati ini. Rani adalah segalanya bagiku, kebahagiaan kecil yang selalu menyemangati setiap hari yang berat. Aku pun meminjam uang kepada tetangga, berharap bisa membawa Rani ke dokter. Tapi uang itu tak cukup.
Hari demi hari, aku melihat Rani semakin lemah. Aku hanya bisa memeluknya setiap malam, berjanji dalam hati bahwa aku akan menemukan jalan keluar. Di tengah keputusasaan itu, aku sering duduk di teras, menatap bulan yang bersinar redup, seolah berbicara kepadaku bahwa aku tak sendirian. Tapi rasanya aku memang sendirian. Dunia seolah diam, sementara aku terus berjuang dengan tenaga yang semakin habis.
Hingga suatu sore, saat senja kembali memerah, kabar itu datang. Tetangga yang meminjamkan uang datang mengetuk pintu. "Pak, maafkan aku. Aku butuh uang itu kembali minggu ini. Kalau tidak, aku juga bisa terancam kehilangan sawahku." Suaranya lirih, tapi setiap kata bagai beban yang kian menekan dadaku.
Aku tak punya pilihan. Dengan berat hati, aku mengambil keputusan untuk menjual sawah itu. Satu-satunya warisan yang kumiliki dari orang tuaku. Dengan uang hasil penjualan, aku bergegas membawa Rani ke rumah sakit. Hari itu aku melihatnya tersenyum untuk pertama kalinya setelah berhari-hari terbaring lemah.
Namun, kebahagiaan itu singkat. Dokter berkata bahwa Rani butuh perawatan yang lebih lama. Uang hasil penjualan sawah itu tak akan cukup untuk membayar semua biaya. Aku hanya bisa terdiam, merasakan kepedihan yang begitu dalam, seperti senja yang semakin menggelap tanpa harapan cahaya.
Hari itu, aku kembali ke rumah dengan hati hancur. Di perjalanan, aku berhenti di tepi sawah yang dulu menjadi tempatku mencari penghidupan. Di bawah langit senja yang keemasan, aku sadar bahwa hidupku memang tak akan pernah mudah. Tapi aku akan terus berjuang, entah bagaimana caranya.