pemilu 2024, publik dikejutkan oleh pengunduran diri dua kader terpilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yaitu Sri Rahayu dan Arteria Dahlan, yang mengundurkan diri jelang pelantikan sebagai anggota DPR. Keduanya berasal dari daerah pemilihan VI Jawa Timur (Jatim VI).Â
PadaPengunduran diri mereka secara mendadak membuka jalan bagi Romy Soekarno, cucu dari Presiden pertama RI, Soekarno, untuk melenggang ke parlemen tanpa melalui proses pemilihan langsung yang idealnya merepresentasikan suara rakyat.
Keputusan KPU dan Masalah Aturan Penggantian Caleg
Penetapan Romy Soekarno sebagai pengganti diatur dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 1401/2024, yang merupakan perubahan atas SK KPU No. 1206/2024 tentang penetapan calon terpilih anggota DPR. Keputusan ini memunculkan diskusi publik terkait mekanisme penggantian caleg terpilih yang tiba-tiba mengundurkan diri.
Fenomena pengunduran diri mendadak ini bukan hanya terjadi di PDIP, tetapi juga di partai lain. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang adanya potensi jual beli kursi di internal partai politik. Meskipun sulit dibuktikan secara langsung, situasi seperti ini kerap kali menciptakan kecurigaan publik bahwa kursi legislatif diperjualbelikan di kalangan elite partai. Dampaknya, masyarakat yang telah memilih kandidat tertentu merasa dikhianati, karena caleg yang mereka dukung justru tidak dilantik, digantikan oleh individu yang tidak terpilih melalui suara mayoritas rakyat.
Dampak Pengunduran Diri Kader Terpilih: Suara Rakyat Terabaikan
Dalam demokrasi, pemilu adalah proses yang sangat penting, karena melalui mekanisme ini suara rakyat diwakili oleh para anggota legislatif yang dipilih secara langsung. Ketika seorang caleg terpilih tiba-tiba mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas, muncul kekhawatiran bahwa proses ini tidak lagi murni mencerminkan kehendak rakyat.
Kasus seperti ini juga memperlihatkan adanya kesenjangan aturan dalam proses pergantian antarwaktu (PAW) bagi caleg yang mengundurkan diri. Walaupun KPU sudah memiliki regulasi mengenai pergantian caleg, tetap saja praktik ini membuka celah bagi partai untuk memanipulasi hasil pemilu sesuai dengan kepentingan internal mereka. Hasilnya, bukan hanya kualitas perwakilan yang dipertaruhkan, tetapi juga legitimasi demokrasi itu sendiri.
Khusus untuk kasus ini adalah adanya bau nepotisme karena yang akhirnya maju adalah cucu Soekarno dimana Megawati Soekarno Putri sebagai ketua partai PDIP.
Indikasi Jual Beli Kursi: Ancaman bagi Demokrasi
Fenomena ini bukan hanya merugikan rakyat, tetapi juga memperlemah legitimasi proses demokrasi di Indonesia. Publik mulai mempertanyakan, apakah ada indikasi jual beli kursi di antara kader partai, terutama ketika individu yang diangkat menjadi pengganti tidak mendapatkan dukungan langsung dari rakyat melalui pemilu. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran bahwa partai-partai politik hanya mengutamakan kepentingan elite partai daripada kepentingan rakyat yang mereka wakili.