Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Jokowi Tidak Lagi Menjadi Media Darling?

27 September 2024   19:17 Diperbarui: 27 September 2024   19:17 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi, sejak awal karir politiknya dikenal sebagai "media darling." Gaya kepemimpinannya yang sederhana, merakyat, dan mampu menghadirkan narasi positif di media menjadikan dirinya tokoh sentral di banyak pemberitaan. 

Namun, belakangan, terlihat perubahan dalam cara media meliput Jokowi. Jika dulu kehadiran dan langkah-langkah politiknya kerap menjadi sorotan utama, kini gaung liputannya meredup, terutama setelah putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024. Ada kesan bahwa media tidak lagi seantusias dulu dalam memberikan perhatian terhadap Jokowi. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah media masih tetap objektif atau justru telah terjebak dalam dinamika politik?

Jokowi Sebagai Media Darling

Pada masa awal pemerintahannya, Jokowi menjadi ikon baru dalam lanskap politik Indonesia. Sebagai sosok yang datang dari kalangan non-elit politik, tanpa sejarah besar di partai besar, dan pernah memimpin kota Solo serta Jakarta, ia dilihat sebagai representasi perubahan dan harapan baru. Narasi ini dengan mudah menyentuh media, yang saat itu memberikan liputan masif terhadap setiap gerak-geriknya. Popularitas Jokowi di media mencapai puncaknya ketika ia terpilih sebagai presiden, dan media internasional juga turut meliputnya dengan nada positif.

Media, baik cetak maupun elektronik, menampilkan Jokowi sebagai figur yang "berbeda" dengan presiden-presiden sebelumnya. Sikap sederhananya, blusukan, dan gaya kepemimpinan yang lebih "membumi" membuatnya mendapatkan perhatian luas. Ini juga diperkuat dengan keberhasilannya dalam proyek-proyek infrastruktur besar, yang terus menerus mendapat liputan positif.

Gibran dan Titik Balik Relasi dengan Media

Namun, keadaan mulai berubah ketika keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan Gibran maju sebagai calon wakil presiden meskipun usianya belum memenuhi batas yang ditetapkan undang-undang. Keputusan ini menimbulkan polemik, dengan sebagian besar gerakan pro-demokrasi dan kelompok sipil menuding adanya intervensi politik dari Jokowi. Mereka melihat keputusan MK sebagai upaya memperkuat dinasti politik Jokowi, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Media, yang selama ini cenderung ramah terhadap Jokowi, mulai menunjukkan perubahan sikap. Liputan terhadap Jokowi dan keluarganya tidak lagi positif secara konsisten, dan kritik terhadap kebijakannya semakin banyak muncul, terutama dari media yang menganggap pentingnya menjaga demokrasi. Di sini, media mulai memihak narasi bahwa pengaruh Jokowi terlalu besar dalam arena politik, terutama terkait keterlibatan Gibran.

Sejak saat itu, perhatian media terhadap Jokowi berangsur surut. Liputan mengenai Jokowi hanya muncul pada momen-momen tertentu yang dinilai penting, seperti pertemuan internasional atau pengumuman kebijakan besar. Tak lagi seperti dulu, di mana setiap langkahnya menjadi headline utama. Sebaliknya, media mulai lebih sering mengangkat suara-suara oposisi yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Perubahan Sikap Media: Mengapa Terjadi?

Ada beberapa alasan mengapa media mulai menjaga jarak dari Jokowi. Pertama, media memang memiliki kecenderungan mengikuti arah opini publik. Saat opini publik mulai kritis terhadap suatu figur politik, media pun akan menyesuaikan liputannya. Dalam hal ini, kritik terhadap Jokowi, terutama setelah Gibran mencalonkan diri, cukup kuat di kalangan masyarakat sipil. Mereka khawatir bahwa pengaruh dinasti politik bisa membahayakan demokrasi Indonesia.

Kedua, sebagian media mungkin merasa harus menyeimbangkan narasi mereka untuk menjaga objektivitas. Ketika Jokowi pertama kali naik ke panggung politik nasional, harapan masyarakat sangat tinggi. Namun, setelah hampir dua periode pemerintahan, berbagai masalah yang belum terselesaikan, seperti isu korupsi dan perlindungan hak asasi manusia, mulai muncul ke permukaan. Media, dalam perannya sebagai watchdog, merasa berkewajiban untuk lebih kritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun