Situasi politik Indonesia saat ini memang tampak stabil di permukaan, namun dinamika di bawah permukaan tak sepenuhnya damai. Dalam suasana transisi kekuasaan yang sedang berlangsung, ada upaya untuk mengadu domba dan merusak harmoni antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden terpilih Prabowo Subianto, dua tokoh penting yang menjadi kunci dalam menjaga kestabilan politik nasional. Bahkan, isu ini tidak hanya menargetkan Jokowi dan Prabowo, tetapi juga putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden terpilih.
Upaya ini sangat terlihat dengan munculnya berbagai narasi dan opini yang mengisyaratkan bahwa Prabowo telah meninggalkan Jokowi. Ada kelompok-kelompok yang dengan sengaja meniupkan isu perpecahan ini, dengan harapan dapat memecah hubungan yang harmonis antara dua tokoh yang pernah menjadi rival di pemilu presiden, namun kini bekerja sama dalam satu pemerintahan. Mereka yang menyebarkan narasi ini seolah-olah tidak puas dengan kenyataan bahwa dua tokoh dengan latar belakang politik berbeda bisa bersinergi.
Salah satu contoh nyata adalah ketika Prabowo beberapa kali disebut-sebut dalam opini publik seolah tidak lagi mendukung Jokowi, atau bahkan menjauhkan diri dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Di berbagai forum dan media sosial, narasi seperti ini sering muncul, menciptakan kesan bahwa Prabowo, yang  menjadi Presiden berikut, telah mengambil jarak dari Jokowi demi kepentingan politiknya.Â
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Prabowo masih hadir dalam acara-acara kenegaraan dan menunjukkan dukungan dan terimakasih nya kepada Joko Widodo. Namun, narasi pembelahan ini terus disuarakan, dengan harapan dapat merusak kepercayaan antara kedua figur tersebut.
Selain itu, upaya untuk memecah belah hubungan antara Gibran dan Prabowo juga semakin terasa. Kasus akun Kaskus bernama "Fufufafa" adalah salah satu contohnya. Akun tersebut diduga menyebarkan isu-isu negatif yang secara implisit mengaitkan Gibran dengan tuduhan-tuduhan tidak mendasar, seperti upaya untuk menggagalkan pelantikan Gibran.Â
Meskipun sangat tidak masuk akal bagi banyak orang yang sehat akalnya bahwa Gibran terlibat dalam hal semacam itu, isu receh ini nyatanya berhasil menjadi pembahasan nasional hingga diangkat di media mainstream dan acara televisi besar, seperti Indonesia Lawyer Club di TV One. Isu yang seharusnya dianggap lelucon ini justru menjadi sorotan publik, memperlihatkan betapa gencarnya upaya-upaya untuk menghancurkan citra politik Gibran di mata masyarakat luas.
Namun, ini bukan pertama kalinya Jokowi dan keluarganya menjadi sasaran pembusukan. Sejak awal masa kepresidenannya, Jokowi telah menjadi target dari berbagai upaya untuk merusak kredibilitas dan legitimasinya. Isu tentang ijazah palsu, Â nama aslinya adalah "Mulyono" yang menjadi bahan olokan, hingga kontroversi mengenai jet pribadi yang digunakan Kaesang Pangarep, putranya, hanyalah sebagian kecil dari serangkaian serangan yang dilancarkan terhadap Jokowi.
Pertanyaannya, mengapa upaya-upaya pembusukan ini begitu kuat dan konsisten? Apa yang membuat Jokowi menjadi target serangan yang begitu gigih, bahkan setelah hampir satu dekade menjabat sebagai presiden?
Salah satu alasannya adalah transformasi politik yang berhasil diwujudkan oleh Jokowi. Sebagai presiden yang berasal dari luar lingkaran elite politik tradisional, Jokowi dinilai oleh banyak pihak sebagai ancaman terhadap status quo. Reformasi birokrasi, kebijakan pembangunan infrastruktur besar-besaran, hingga pendekatan populis yang diterapkannya, membuat Jokowi populer di kalangan masyarakat biasa, tetapi sekaligus membuatnya dibenci oleh sebagian elite politik dan kelompok kepentingan yang merasa terancam.
Dalam transisi menuju pemerintahan baru, kelompok-kelompok yang pernah mendukung Jokowi kini berbalik menjadi lawannya. Menariknya, para pengkritik baru ini adalah mereka yang dulu mendukungnya, namun kini menjadi pembenci paling keras. Hal ini kerap dijumpai di dunia politik, di mana pendukung yang merasa kecewa cenderung menjadi oposisi yang paling lantang. Dalam konteks Jokowi, kelompok-kelompok ini merasa bahwa ekspektasi mereka tidak terpenuhi, dan kini mereka bahkan lebih semangat dalam menyerang Jokowi dibandingkan dengan para pengkritik aslinya.
Lalu, bagaimana kita, sebagai masyarakat, seharusnya bersikap dalam menghadapi situasi ini?