Pertanyaan ini bukan hanya getir, tetapi juga menyentak kesadaran publik tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga yang seharusnya berdiri sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Bagaimana mungkin di tubuh lembaga ini justru terjadi praktek suap yang sangat memalukan? Praktek yang terungkap dalam persidangan penjaga rutan KPK, di mana muncul kisah tentang iuran wajib tahanan hingga suap untuk kepentingan pribadi petugas, mengguncang kepercayaan masyarakat.
Modus Operandi yang Terorganisir dan Rapi
Kasus suap di rutan KPK yang terungkap dalam persidangan para penjaga rutan KPK menunjukkan adanya modus operandi yang sudah berjalan selama bertahun-tahun. Suap yang dilakukan tidak sekadar terjadi secara individual, melainkan terorganisir dengan sangat rapi. Para narapidana korupsi yang ditahan di rutan KPK diduga harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkan perlakuan khusus, seperti kemudahan fasilitas atau bahkan kelonggaran aturan.
Dalam pengakuan yang terungkap, ada iuran wajib yang dikenakan pada tahanan, bahkan hingga kasus atap bocor di rumah penjaga rutan yang perbaikannya didanai oleh para narapidana. Ini bukan sekadar soal uang kecil, tetapi praktek suap yang sudah menjadi budaya di lingkungan yang seharusnya steril dari segala bentuk korupsi.
Contoh Suap dan Besaran Uang yang Disetorkan
Laporan dari persidangan menunjukkan besarnya suap yang harus disetorkan oleh narapidana korupsi agar mendapatkan kemudahan. Besaran uang suap bervariasi tergantung pada jenis fasilitas yang diinginkan. Dalam beberapa kasus, disebutkan bahwa para tahanan harus menyetorkan puluhan hingga ratusan juta rupiah kepada para penjaga rutan.
Sebagai contoh, seorang narapidana bisa saja membayar Rp50 juta hingga Rp100 juta untuk mendapatkan fasilitas khusus seperti telepon genggam, ruangan pribadi yang lebih nyaman, atau bahkan kunjungan keluarga yang lebih fleksibel. Jika tidak membayar, mereka diancam dengan hukuman tambahan, termasuk dipersulit dalam proses hukum atau dipindahkan ke sel yang lebih tidak nyaman.
Ini menunjukkan bahwa praktek suap ini bukan hanya soal pelanggaran aturan, tetapi juga tentang pemerasan sistematis yang dilakukan terhadap para tahanan. Fakta ini menciptakan ironi besar: di rutan KPK, di mana para koruptor seharusnya diawasi ketat, justru terjadi korupsi di balik jeruji besi.
Rutan KPK dan Penjara Lain: Fenomena yang Sama?
Pertanyaan besar yang muncul setelah terbongkarnya skandal suap di rutan KPK adalah: jika di lembaga anti-korupsi seperti KPK hal ini bisa terjadi, bagaimana dengan rutan-rutan lainnya? Sebenarnya, praktek suap di lembaga pemasyarakatan sudah bukan rahasia lagi. Kasus-kasus seperti narapidana yang bisa keluar-masuk penjara, memiliki akses telepon, bahkan berbisnis dari balik jeruji telah banyak diungkap.
Namun, skandal yang terjadi di rutan KPK lebih mengejutkan karena menyangkut institusi yang selama ini diharapkan menjadi simbol kebersihan dari korupsi. Jika di KPK saja ini terjadi, bagaimana kita bisa berharap bahwa lembaga pemasyarakatan lain di Indonesia bebas dari praktek serupa? Sistem pengawasan yang longgar dan mentalitas korup dalam tubuh birokrasi menjadi akar masalah yang harus segera diatasi.