Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Ambil Alih Freeport, Jokowi Pernah Akan Digulingkan?

20 September 2024   15:23 Diperbarui: 20 September 2024   15:26 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: BBC.com

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa ketika Pemerintah Indonesia berusaha mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia pada tahun 2018, ia sempat mendapat peringatan serius. Bukan hanya peringatan mengenai potensi dampak ekonomi, tetapi juga ancaman langsung terhadap stabilitas nasional, termasuk kemungkinan digulingkannya Jokowi sebagai presiden dan ancaman Papua memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam sebuah pidato di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII di Solo, Jawa Tengah pada 19 September 2024, Jokowi menceritakan tantangan yang dihadapi ketika hendak mengambil alih Freeport. "Bahkan waktu akan ambil Freeport saja banyak yang membisiki ke saya, 'Pak, hati-hati, Papua bisa lepas. Pak hati-hati Bapak bisa digulingkan. Pak hati-hati'. Jadi hilirisasi ini bukan barang yang gampang," kata Jokowi, menyoroti kompleksitas langkah strategis tersebut.

Freeport: Simbol Kepentingan Asing di Indonesia

Freeport Indonesia, perusahaan tambang emas dan tembaga yang telah beroperasi di Papua sejak 1967, menjadi simbol dominasi perusahaan asing di Indonesia. Selama puluhan tahun, perusahaan ini dikelola oleh Freeport-McMoRan, perusahaan tambang asal Amerika Serikat, yang menikmati keuntungan besar dari kekayaan alam Indonesia. Meski demikian, keberadaan Freeport kerap menjadi perdebatan publik karena manfaatnya yang dianggap lebih banyak menguntungkan pihak asing daripada Indonesia sendiri.

Berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, yang mungkin enggan berhadapan langsung dengan kekuatan asing yang besar, Jokowi mengambil langkah berani untuk menegosiasikan pengambilalihan saham mayoritas Freeport. Pada 2018, Indonesia berhasil menguasai 51 persen saham Freeport, langkah besar yang mengembalikan sebagian besar kendali kekayaan tambang Papua ke tangan Indonesia.

Isu Kudeta dan Papua Lepas dari NKRI

Bukan tanpa alasan peringatan soal kudeta dan Papua lepas dari NKRI muncul saat pengambilalihan Freeport. Freeport tidak hanya menyangkut kepentingan ekonomi, tetapi juga geopolitik. Papua, sebagai wilayah yang kaya sumber daya alam, selalu menjadi titik sensitif dalam politik Indonesia. Jika terjadi ketidakpuasan di antara para elit politik atau pengusaha besar yang merasa dirugikan oleh kebijakan Jokowi, Papua bisa dijadikan "senjata" untuk menekan pemerintah. Apalagi, selama bertahun-tahun ada gerakan separatis di Papua yang terus berusaha memperjuangkan kemerdekaan.

Sejarah mencatat bahwa pemimpin yang berani menantang kepentingan besar sering kali menghadapi risiko politik yang serius. Kita bisa melihat contoh bagaimana Gus Dur, presiden ke-4 Indonesia, diturunkan paksa melalui proses politik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Meskipun aturan konstitusi saat ini lebih ketat dan sulit untuk menjatuhkan presiden secara tiba-tiba, ancaman politik seperti ini tetap nyata.

Kasus penutupan Pertamina Energy Trading Limited (Petral) juga mencerminkan situasi yang sama. Ketika Jokowi menutup Petral, anak perusahaan Pertamina yang bertugas mengimpor minyak, rumor serupa soal potensi kudeta beredar luas. Penutupan Petral dianggap mengganggu kepentingan finansial kelompok-kelompok tertentu yang menikmati keuntungan dari aktivitas impor minyak. Pengambilan keputusan yang melawan kepentingan oligarki ini menunjukkan betapa besarnya taruhan politik bagi Jokowi.

Jokowi: Melawan Kritik dan Cacian

Sepanjang dua periode kepemimpinannya, Jokowi tidak pernah lepas dari kritik keras, bahkan hinaan. Kritikan ini datang dari berbagai kelompok, baik yang kecewa dengan kebijakannya, maupun dari mereka yang merasa dirugikan oleh langkah-langkah reformasinya. Salah satu kebijakan yang dianggap kontroversial adalah hilirisasi industri tambang dan sumber daya alam. Kebijakan ini bertujuan untuk mengolah hasil tambang di dalam negeri sebelum diekspor, sehingga memberikan nilai tambah bagi Indonesia. Namun, langkah ini tidak selalu diterima dengan baik oleh mereka yang selama ini menikmati keuntungan dari ekspor bahan mentah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun