satwa langka dan liar tertutupi oleh isu-isu sosial dan politik lainnya. Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan kasus seorang warga yang dihukum karena memelihara landak Jawa, sebuah hewan yang dilindungi.Â
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan biodiversitas terbesar di dunia, menghadapi tantangan serius dalam menjaga keanekaragaman hayatinya. Namun, sering kali persoalan perlindunganKasus ini memicu perdebatan, terutama ketika hukuman yang diberikan dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku korupsi, yang dianggap jauh lebih ringan.
Gilang Dhielafararez, Anggota Komisi III DPR RI, menanggapi fenomena ini dengan menekankan pentingnya mempertimbangkan sanksi pidana sebagai opsi terakhir bagi masyarakat yang ketahuan memelihara hewan langka, terutama jika dilakukan tanpa kesengajaan atau karena ketidaktahuan.Â
Menurut Gilang, hukuman yang keras terhadap warga yang tidak tahu bahwa mereka melanggar hukum "sangat mengoyak rasa keadilan masyarakat." Pernyataan ini mendorong diskusi lebih lanjut tentang bagaimana hukum Indonesia mengatur pemeliharaan dan perdagangan hewan langka, serta apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki penegakan hukum terkait isu ini.
Hukum Pemeliharaan dan Perdagangan Satwa Langka di Indonesia
Di Indonesia, undang-undang yang mengatur tentang satwa liar yang dilindungi adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan UU ini, masyarakat dilarang untuk menangkap, memelihara, memperdagangkan, atau memanfaatkan satwa liar yang dilindungi tanpa izin yang sah dari pemerintah. Pasal 21 UU tersebut dengan tegas melarang kegiatan-kegiatan seperti:
1. Menangkap, melukai, membunuh, atau memperdagangkan satwa yang dilindungi.
2. Mengambil, merusak, atau memperdagangkan bagian-bagian tubuh dari satwa yang dilindungi.
3. Memelihara satwa yang dilindungi tanpa izin.
Pelaku yang melanggar ketentuan ini dapat dijatuhi hukuman pidana hingga lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta.
Namun, kasus-kasus seperti pemeliharaan landak Jawa menunjukkan bahwa sering kali masyarakat tidak menyadari bahwa hewan yang mereka pelihara tergolong langka dan dilindungi. Di sinilah pernyataan Gilang menjadi relevan, di mana sanksi pidana seharusnya tidak selalu menjadi solusi pertama, melainkan edukasi dan pendekatan restoratif bisa dipertimbangkan.