Dengan demikian, tantangan besar bagi calon perempuan bukan hanya untuk mencapai angka yang diinginkan, tetapi juga untuk membuktikan bahwa mereka mampu bersaing di dunia politik yang keras dan penuh kompetisi.
Pemilih Perempuan: Mengapa Tidak Cenderung Memilih Sesama Perempuan?
Yang menarik, meskipun jumlah pemilih perempuan sangat besar, mereka tidak selalu cenderung memilih sesama perempuan. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa yang mendorong perilaku ini?
Beberapa faktor bisa berperan, mulai dari ketidakpercayaan pada kemampuan perempuan sebagai pemimpin hingga dominasi stereotip gender yang sudah tertanam dalam benak masyarakat, termasuk di kalangan perempuan sendiri.
Perempuan dalam politik sering kali dihadapkan pada ekspektasi ganda. Mereka tidak hanya dituntut untuk memiliki kemampuan teknis dan kepemimpinan, tetapi juga harus menunjukkan "kebajikan" sesuai dengan stereotip gender tertentu---seperti mengutamakan kepedulian, etika, dan sikap keibuan.
Hal ini bisa menjadi tekanan yang tidak dihadapi oleh calon laki-laki, yang dianggap lebih bebas dalam menentukan gaya kepemimpinan mereka. Akibatnya, perempuan pemilih mungkin merasa bahwa perempuan calon tidak sesuai dengan ekspektasi sosial yang diharapkan dari mereka.
Selain itu, keterbatasan pengalaman atau rekam jejak yang lebih singkat dibandingkan calon laki-laki juga bisa menjadi faktor mengapa calon perempuan kurang diminati.
Dalam politik, pengalaman dan koneksi sering kali menjadi faktor kunci dalam menarik dukungan. Calon perempuan yang lebih baru atau kurang berpengalaman mungkin menghadapi tantangan yang lebih besar dalam memenangkan kepercayaan pemilih.
Pilkada 2024: Kemajuan atau Respons Terhadap Perubahan Sikap Pemilih?
Menariknya, Pilkada kali ini menyaksikan jumlah calon perempuan yang lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Apakah ini merupakan tanda kemajuan signifikan dalam partisipasi perempuan dalam politik, ataukah ini lebih mencerminkan perubahan sikap pemilih yang mulai terbuka terhadap calon perempuan?