Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Jika Jokowi Presiden Terburuk dan Perusak Demokrasi, Siapa Presiden Terbaik dan Paling Demokratis di Indonesia

2 September 2024   20:33 Diperbarui: 2 September 2024   20:35 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kancah perpolitikan Indonesia, kritik adalah bagian dari keseharian. Setiap hari, ada saja yang melontarkan pendapat, dari yang masuk akal sampai yang membuat kita geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut. Salah satu kritik yang belakangan ini sering kita dengar adalah bahwa Presiden Jokowi dianggap sebagai presiden terburuk dan perusak demokrasi. Nah, kalau begitu, mari kita bermain-main dengan imajinasi dan bertanya: Kalau Jokowi adalah presiden terburuk, lalu siapa presiden terbaik dan paling demokratis di Indonesia?

Mari kita mulai dari yang jelas---kalau Jokowi dianggap perusak demokrasi, tentunya ada presiden lain yang berhasil "menjaga" demokrasi kita seperti harta karun tak ternilai, kan? Bayangkan saja, seorang presiden yang memimpin dengan penuh cinta demokrasi, ibarat seorang pahlawan yang selalu memikirkan kepentingan rakyat, bahkan saat tidur.

Beberapa mungkin akan mengusulkan Soekarno, sang proklamator. Beliau memang orator ulung, dan semangatnya membangun bangsa patut diacungi jempol. Tapi, tunggu dulu, Soekarno juga membubarkan konstituante dan memulai Demokrasi Terpimpin yang, yah, agak susah dikatakan demokratis. Demokrasi ala Soekarno mungkin lebih mirip dengan "Saya bicarakan, Anda dengarkan." Jadi, mungkin bukan dia yang kita cari.

Lalu ada Soeharto, yang disebut-sebut sebagai Bapak Pembangunan. Pembangunan di mana-mana, stabilitas terjaga, dan ya, satu lagi: demokrasi Pancasila ala Soeharto yang juga, uh, unik. Selama 32 tahun, "demokrasi" versi Soeharto tidak banyak memberi ruang bagi suara rakyat, kecuali satu kata yang harus diucapkan setiap lima tahun sekali: Golkar. Jadi, dia mungkin tidak masuk dalam kategori "paling demokratis."

Lanjut ke Habibie, presiden yang memimpin di era transisi. Banyak yang menyanjung beliau atas kebijakan kebebasan pers dan langkah awal reformasi. Namun, masa jabatannya yang singkat membuat kita bertanya-tanya: Apakah beliau punya cukup waktu untuk benar-benar menjadi penjaga demokrasi yang ideal? Atau beliau hanya seorang pemadam kebakaran yang tanggap saat krisis?

Gus Dur mungkin lebih dekat dengan definisi presiden demokratis. Siapa lagi yang berani membubarkan DPR/MPR yang waktu itu sedang gatal ingin menjatuhkannya? Tapi, karena langkah-langkahnya yang cenderung di luar dugaan, banyak yang menganggap demokrasi di bawah Gus Dur lebih mirip dengan eksperimen tak terduga---mungkin lebih tepat disebut demokrasi kreatif.

Megawati? Ah, banyak yang mencintainya, tapi juga tak sedikit yang kecewa dengan kebijakan-kebijakan yang cenderung lambat dan kurang responsif terhadap aspirasi rakyat. Lagipula, kata banyak orang, gaya kepemimpinannya terlalu "monarki" untuk disebut demokratis.

Lalu, datanglah SBY, yang sering disebut sebagai presiden yang demokratis, dengan gaya yang kalem dan penuh diplomasi. Tapi, ada juga yang bilang, demokrasi di bawah SBY itu demokrasi "yang penting semua orang senang"---dengan kata lain, terlalu berhati-hati sehingga perubahan terasa lambat.

Jadi, siapa presiden terbaik dan paling demokratis di Indonesia? Mungkin jawabannya tidak ada di daftar presiden yang kita kenal. Mungkin, presiden terbaik dan paling demokratis adalah yang belum lahir, atau bahkan mungkin dia adalah kita---ya, kamu dan saya---yang setiap hari mengeluh, memberi kritik, berdebat di warung kopi, dan di media sosial dengan teman-teman. Kita, yang terus berusaha, walaupun sedikit sumbang, untuk menjaga api demokrasi tetap menyala.

Jadi, saat kita berpikir bahwa Jokowi adalah presiden terburuk dan perusak demokrasi, mari kita ingat: mungkin tidak ada presiden yang sempurna. Setiap presiden membawa gaya dan warna mereka masing-masing. Yang terbaik adalah yang terus kita usahakan bersama, meski kadang dengan cara yang tidak sempurna dan penuh canda tawa. Mungkin, itulah demokrasi yang sesungguhnya---sebuah kerja keras yang tak pernah selesai, penuh dengan keluhan, kritik, dan, tentu saja, tawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun