Pihak - pihak tertentu menaruh kekhawatiran bahwa pertemuan yang seyogyanya hanya mau menunjukkan itikad baik dari kedua kubu untuk memilih proses damai, bisa saja diplintir untuk saling klaim.
Kekhawatiran seperti di atas, juga cukup beralasan. Karena banyak isu yang berseliweran.Â
Terutama karena ada beberapa partai dari koalisi Prabowo yang secara terang - terangan menunjukkan keinginan untuk menyeberang. Mereka bahkan sudah mengakui kemenangan Jokowi berdasarkan hitungan resmi dari KPU.
Keinginan itu  juga diwarnai kabar burung bahwa sudah ada deal - deal yang mengarah pada pembagian kekuasaan dalam bentuk pembagian kursi menteri.
Isu ini beberapa waktu lalu justru membuat suasana bertambah panas, sebab ada politikus Gerindra yang mengklaim bahwa mereka juga sudah ditawari kursi Menteri. Meski kemudian pernyataan itu dibantah oleh kubu Jokowi.
Sebenarnya, apakah memang melanggar aturan dan etika Politik jika benar ada pembicaraan bagi - bagi kursi itu dalam proses rekonsiliasi?
Menurut penulis hal itu wajar karena biar bagaimanapun politik pada dasarnya punya tujuan untuk merebut kekuasaan.Â
Dalam konteks ini sangat wajar jika ada negosiasi dan diskusi ke arah itu. Jika memang koalisi Prabowo mau bergabung tentu sangat wajar mereka juga punya hak untuk menawarkan orang - orang terbaiknya untuk bergabung ke dalam pemerintahan yang berkuasa.Â
Rekonsiliasi ini untuk menghindari bahwa yang menang mengambil semua dan yang kalah tidak mendapatkan apa - apa. Situasi yang tentu akan melahirkan lingkaran setan dendam politik yang tidak berkesudahan.
Tentu saja semua proses ini harus tetap dalam koridor serta batas - batas kewajaran etika politik.
Tidak boleh juga negosiasi ini kemudian menjadi praktek "dagang sapi", di mana pembagian kursi ini tidak memperhatikan kualitas dan profesionalis dari para calon menteri ini. Juga harus tetap dihargai hak prerogatif Presiden untuk memilih para pembantunya yang terbaik.