Pemilu telah usai. Berdasarkan hasil Quick Count dari berbagai lembaga survei independen menunjukkan bahwa Jokowi memenangkan Pilpres kali ini.Â
Sebenarnya penulis harapkan kejadian tahun 2014 yang lalu tidak terulang. Namun harapan itu rupanya tidak terwujud.Â
Walau indikasi kemenangan Jokowi sudah jelas, Prabowo Subianto tetap meng - klaim bahwa dirinya menang berdasarkan hasil Exit Poll dan Quick Count internal.Â
Hal ini sungguh disayangkan. Rasanya perasaan lega bahwa pesta demokrasi sudah usai, dan saatnya untuk saling berangkulan sebagai bangsa menjadi tertunda.
Mengapa kejadian seperti ini harus terulang? Ini menjadi Dejavu yang tidak menyenangkan. Mengapa begitu sulit kita bersikap sportif dan menjadi negarawan?
Penulis mencoba menduga atas sikap Prabowo yang tetap tidak mau menerima hasil Quick Count dari lembaga survei independen yang juga sudah resmi menjadi lembaga survei KPU.
Penulis melihat dalam hal ini ada upaya Prabowo untuk tidak mau mengecewakan para pengikutnya. Â Hal itu dia lakukan dengan menggarisbawahi pesannya, supaya para pendukungnya untuk bersabar dan tidak melakukan provokasi dan kekerasan.Â
Memang sangat sulit untuk menerima kekalahan, apalagi jika sebelumnya tetap punya keyakinan bahwa dirinya akan menang.Â
Namun apakah dengan cara tetap menyatakan kemenangan, walau indikasi dari hasil survei independen mengatakan sebaliknya itu adalah tindakan yang bijaksana?
Penulis melihat justru dalam situasi sulit seperti itulah seorang pemimpin sejati diuji. Berani dan legawa menerima kekalahan bukankah karakter orang lemah, tapi justru merupakan sikap satria.
Sikap untuk tidak mau menerima kekalahan pun sangat merugikan kehidupan demokrasi kita. Kontestasi demokrasi memang mengharuskan adanya pemenang.Â