Penulis adalah putra Dayak, lebih tepatnya dari sub suku Dayak Pompakng, kampung Lintang, Sanggau Kapuas.
Tidak heran kalau penulis sangat senang ketika Kyai Ma'ruf Amin menyebutkan contoh salah satu kearifan lokal yang bernilai luhur dan patut diangkat ke dunia global, kearifan Rumah Betang.Â
Walau penulis terlahir sebagai putra Dayak, namun bentuk fisik dari rumah Betang sendiri baru penulis lihat saat sudah remaja.Â
Ya, Rumah Betang atau rumah panjang, yang sebenarnya merupakan simbol keluhuran budaya Dayak, sempat menjadi stigma negatif bagi penguasa.
Adalah saat Orde Baru berkuasa. Saat itu pemerintah sedang gencar - gencar nya memberantas gerakan komunisme yang bersembunyi di perbatasan dengan Malaysia.Â
Gerakan Komunisme itu dipimpin seorang tokoh Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah atau S.A. Sofyan didukung pasukan gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan pasukan rakyat Kalimantaan Utara (Paraku).
Untuk membasmi gerakan Komunisme ini, selain mengejar para tokoh komunis dan pendukungnya, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk merobohkan rumah - rumah Betang atau rumah panjang.Â
Alasannya karena pemerintah masa itu melihat rumah panjang, dengan struktur nya itu paling strategis untuk berkumpul dan menyebarkan paham komunisme.Â
Memang kampanye pembasmian rumah Betang disamarkan dengan pesan - pesan: rumah Betang ketinggalan jaman, kotor dan sumber penyakit, dan pesan - negatif lainnya.
Sejak saat itulah masyarakat Dayak dipaksa membangun rumah tinggal sendiri - sendiri. Akibatnya, rumah Betang atau Rumah Panjang hanya tersisa beberapa. Seandainya pun ada rumah Betang pada masa itu, hanya menjadi simbolis dan bangunan museum.
Pembangunan rumah Betang baru gencar lagi setelah jaman Reformasi. Tidak heran sekarang ini di setiap propinsi, Kabupaten dan bahkan kecamatan dibangun banyak rumah Betang. Tapi rumah Betang tersebut tidak lagi berfungsi seperti sediakala, namun hanya sebagi simbol dan tempat pertemuan dan pesta adat.