Semakin dekat hari pencoblosan, bertambah banyak serangan dan hambatan supaya Pemilu dibatalkan. Ini bukan isapan jempol. Polisi sendiri sudah resmi menyatakan hal itu dan sudah memetakan modus operandi nya.
Tentu hal tersebut sangat disayangkan. Nampaknya ada yang sudah pada tekad, apapun yang terjadi maka mereka harus menang. Tidak peduli jika kehidupan bangsa ini jadi taruhannya.
Semakin dekat masa Pencoblosan, semakin jelas siapa yang akan memenangkan pertandingan. Bagi yang ketinggalan, berarti juga semakin sedikit waktu untuk mengejar jarak itu.
Memang, hasil perhitungan setelah pencoblosan lah yang akan menentukan. Tapi prediksi dari sejumlah lembaga survei yang kredibel sudah menunjukkan siapa yang bakal dipilih rakyat memimpin bangsa ini.
Kita mengerti, jika sudah masuk gelanggang pertandingan, pastilah kemenangan yang jadi tujuan. Namun dalam setiap pertandingan pasti ada aturan dan wasit yang akan menjaga pertandingan supaya berjalan dengan adil.
Siapapun yang menjadi aktor intelektual dibelakang serangan pada KPU, Mendagri dan Polisi tersebut, ibarat mereka yang sudah berada di belakang, lalu menyerang wasit, hakim garis dan penjaga keamanan. Tujuannya jelas, jika mereka kalah nanti, ada alasan untuk membatalkan hasil pertandingan.
Melihat apa yang terjadi, kelihatannya mereka sudah menyusun strategi yang rapi. Mereka menyerang KPU dengan hoax KTP yang tercoblos 7 kontainer, KTP palsu dan tuduhan daftar pemilih ganda.Â
Mendagri dipojokkan dengan isu KTP WNA yang ikut terdaftar jadi pemilu. Polisi dituduh tidak netral dengan menjadi buzzer bagi lawan tandingnya.
Celah aturan Pemilu pun mereka gunakan. Para penyebar hoax dan berita bohong selalu atas nama individu. Dalam aturan Pemilu, yang bisa dituntut agar dianggap melanggar aturan Pemilu adalah kelompok resmi relawan atau pendukung. Sehingga mereka masih bisa mengelak, "mereka bukan dari tim pemenangan resmi kami".Â
Ini ibarat serangan gerilya dan pelaku Lone wolf, yang seolah bergerak sendiri tanpa komando. Metode ini ibarat serangan teroris yang terpecah menjadi sel - sel kecil yang saling tidak mengetahui satu sama lain. Â Sehingga jika tertangkap, sepertinya tidak ada yang bertanggung jawab.
Nampaknya strategi delegitimasi ini dijalankan secara berlapis. Caranya dengan mengutakatik hasil prediksi atau survei. Atas nama survei internal, mereka memamerkan angka kemenangan, walau berlawanan hasilnya dengan lembaga survei independen dan kredibel lainnya.Â