Nampaknya politikus yang paling suka menggunakan diksi "perang" dalam kosa katanya adalah politikus gaek Amin Rais. Satu sisi saya salut karena dengan umur yang ia miliki, semangat nya masih tinggi. Di sisi lain sering saya bingung karena ungkapan ungkapannya kadang terlalu bombastis dan tidak nyambung.
Dari sekian banyak politikus uzur, nampaknya Aminlah yang masih mau ber panas - panas berorasi di bawah terik matahari. Seperti yang terjadi kemarin di KPU. Dan kembali dia menantang dengan menabuh ancaman perang. Kali ini dia samakan Pemilu sebagai Perang Politik.
Kalau kita catat ini sudah ketiga kalinya tersiar secara nasional Amin Rais mengumandangkan ancaman perangnya.Â
Pertama kali ia berorasi, dengan lantang ia mengatakan bahwa saat ini adalah saatnya perang Badar. Tentu tantangan ini menggelegar, karena dialah yang pertama kali melihat pesta demokrasi ini sebagai ajang peperangan. Ada yang setuju, tapi lebih banyak yang menentangÂ
Bukan Amin Rais namanya kalau dia redup untuk menabuh genderang perangnya. Kali kedua, dia juga menggunakan kosakata yang hampir sama yakni kontestasi Pilpres ini disamakan dengan pertempuran Armageddon. Lagi - lagi ungkapan itu mempunyai makna pertempuran terakhir, perang habis - habisan.
Karena begitu seringnya dia menggunakan istilah Perang itu, mau tak mau muncul pertanyaan, serius nih pesta Demokrasi ini bisa di samakan dengan perang?
Dan jika memang demikian, apa sih konsekuensinya bagi kehidupan demokrasi di negeri ini?
Dengan menyamakan pesta demokrasi sebagai perang berarti:
Ada yang kalah dan yang menang. Pihak yang menang boleh punya pampasan perang, yang kalah harus mati atau jadi tawanan.
Kalau ini perang penghabisan berarti memang pertempuran nya harus habis - habisan. Tidak ada kesempatan lain kali, berarti yang kalah tidak boleh lagi ikut kontestasi berikutnya.
Jika konteks politik ini dijadikan ajang peperangan berarti setiap orang perlu mempersenjatai diri, tidak ada lagi kompromi dan diskusi, apalagi debat menawarkan program dan adu prestasi.