Hampir disetiap perhelatan Pemilu gaung suara Golput selalu terdengar. Pemilu dan Pilkada serentak yang akan dilakukan pada bulan April ini pun tidak ketinggalan, walaupun gaungnya tidak terlalu besar.Â
Meskipun demikian nampaknya cukup membuat gerah mereka yang sedang bertarung karena untuk situasi saat ini 'masa mengambang' ini menjadi perebutan dari kedua belah pihak.Â
Golongan putih atau yang disingkat golput sendiri sudah akrab cukup lama. Ini merupakan istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes dari para aktivis mahasiswa dan pemuda  untuk mengkritisi pelaksanaan Pemilu 1971  yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru.
Pada saat itu pesertanya  ada 10 partai politik, jumlah peserta jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik.Â
Arif Budiman adalah tokoh yang cukup dikenal sebagai pemimpin gerakan ini. Namun, pencetus istilah "Golput" ini sendiri adalah imam Waluyo.Â
Dipakai istilah "putih" karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara.Â
Artinya mereka tetap datang dan mencoblos di bilik suara namun coblosan mereka tidak sah. Dalam situasi saat itu tidak banyak yang berani untuk tidak datang ke TPS karena akan ditandai. Â Â
Untuk selanjutnya Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya sebagai  partai politik dominan pada masa Orde Baru.Â
Pada saat itu golput pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral. Gerakan ini  dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru dilaksanakan.Â
Arief Budiman sebagai salah seorang eksponen Golput berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun.Â
Saat itu memang dengan atau tanpa Pemilu Soeharto dan ABRI-lah yang tetap berkuasa.
Kalau melihat uraian ini, ada beberapa perbedaan dengan mereka yang memproklamirkan diri sebagai Golput.
Untuk sekarang lebih karena melihat kedua calon tidak memenuhi kriteria mereka. Juga ada yang menjadi Golput disebabkan sikap apatis, siapapun yang jadi presiden toh nasib dirinya tidak berubah.Â
Alasan yang lebih sederhana pun ada, malas ke TPS dan tidak sempat disebabkan kesibukan lain.Â
Jadi Golput masa kini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai Golongan Putih, tapi lebih tepat dikatakan "Golongan Warna - warni"atau "Golongan Pelangi".
Dari motivasi pun sebenarnya Golput saat ini kurang bermotifkan tujuan politik, atau memperjuangkan moral politik seperti para tokoh Golput masa lalu, sebab tradisi perbedaan memang sudah didapat.
Gerakan mereka tidak memilih pun saat ini juga sudah dijamin undang-undang, yaitu UU tentang HAM Pasal 43. Selanjutnya, UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: "WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.Â
Dalam klausul tersebut kata yang tercantum adalah "hak" bukan "kewajiban". Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamendemen pada 1999-2002, tercantum dalam Pasal 28 E: "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali". Hak memilih di sini termaktub dalam kata "bebas". Artinya bebas digunakan atau tidak.
Dengan demikian gerakan Golput saat ini pun tidak lagi dianggap sebagai gerakan melawan pemerintah.
Dengan melihat hal ini, sebenarnya Golput saat ini tidak bisa lagi dikatakan sebagai gerakan Politik apalagi dianggap sebagai sebagai pahlawan pengawal demokrasi dan perbedaan.
Bahkan menurut penulis, dalam situasi saat ini, di mana justru gejala tidak menghargai toleransi, mengerasnya politik identitas, semakin keras gaung politisasi agama dan keragaman terancam, justru Golput sebenarnya boleh dikatakan tidak peduli dengan nasib bangsa ini.
Penulis ingin menutup tulisan ini dengan kutipan Romo Magnis, "Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa". Jadi untuk para Golput, terlebih yang bersikap apatis, sudah saatnya berpikir ulang atas pilihan untuk tidak memilih. GOLPUT bertobat lah!.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H