[caption id="attachment_353679" align="aligncenter" width="320" caption="protes pegawai KPK/http://news.detik.com"][/caption]
Nampaknya saya tidak bisa berhenti menulis melihat fenomena yang sekarang ada di KPK. Semula saya kira ini adalah serangan sporadis dan sesaat, tapi rupanya tidak. Ini benar-benar masif dan terencana.
Betapa tidak, strategi perang benar-benar digunakan di sini.
Serangan dimulai dengan menyebarkan wacana seperti kampanye untuk mengubah persepsi publik. Tujuannya jelas, untuk melemahkan emage dan branding yang telah melekat di KPK selama ini. Hal itu terungkap dengan pernyataan dari PLT KPK, “KPK yang dulu tidak berkoordinasi yang baik dengan penegak hukum yang lain”. Dengan ini beliau nampaknya ingin menunjukkan “keberhasilan” koordinasi dengan mengadakan pertemuan ke para penegak hukum Polri dan Kejaksaan. Saya melihat ini sebenarnya mau menutup maksud sebenarnya yakni: melakukan deal-deal dan kompromi supaya tidak dicurigai.
Langkah ke dua serangan ini adalah: membuka benteng dari dalam. Hal itu dilakukan dengan pernyataan-pernyataan yang jelas “membuka borok” KPK seperti: “KPK yang dulu terlalu tergesa-gesa menjadikan koruptor jadi tersangka....sehingga kerjanya jadi menumpuk dan tidak tertangani”.
Pernyataan seperti ini dari orang yang sekarang menjabat sebagai Pimpinan KPK adalah aneh dan mencurigakan. Dia dipilih justru untuk “memperbaiki” bukan untuk “mencari kesalahan” jika memang itu benar adanya. Tapi ya, itulah strategi yang sudah dipikirkan dengan matang. Dengan membuka borok KPK maka diharapkan dia dapat legitimasi untuk mengobrak abrik KPK dari dalam sementara dengan itu dia juga menyiapkan terowongan agar lawan dari luar bisa menyerang.
Atas legitimasi ini juga dia minta dibenarkan dengan “membagi-bagi” perkara ke instansi lain. Termasuk dalam hal ini adalah kasus BG. Bahkan sudah ada indikasi kasus APBD Ahok pun akan dilimpahkan ke Kejaksaan. Dengan ini maka KPK bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi tapi Komisi Pembagian kasus Korupsi.
Pengakuan bahwa "KPK kalah" adalah bagian dari strategi ini untuk menghancurkan semangat para pendukung korupsi. Dampaknya sangat besar karena bisa sampai pada sikap tidak percaya diri bahwa koruptor bisa dilawan. Tapi sekali lagi "pernyataan kalah" ini memang sengaja disampaikan, seperti memberi tanda melambaikan kain putih dari dalam benteng kepada lawan KPK, tanda menyerah sehingga lawan-lawan KPK akan berbondong-bodong datang untuk menjarah ke dalam institusi KPK.
Langkah ketiga yang sudah mulai terbaca adalah: menyingkirkan orang-orang idealis yang ada di KPK. Ya, protes keras dari Karyawan KPK bukanlah tidak direncanakan, malahan dikondisikan. Penyusun strategi ini tahu persis, karakter staff di KPK. Mereka tidak segan protes jika pimpinan dianggap berbuat salah karena memang suasana demokratis dan “saling koreksi” itulah yang selama ini dipelihara dan menjadi kekuatan institusi KPK. Ingat kasus para penyidik yang mempertanyakan dan memprotes Abraham Samad ketika ada kasus korupsiyang rupanya tidak dibicarakan lebih dahulu secara internal.
Jika di masa lalu protes seperti ini diakomodir, maka kali ini hampir pasti akan diberangus atau dengan cara halusnya “saya atau kamu yang ke luar dari KPK, kalau tidak puas ya minta presiden memberhentikan saya...”
Sekali lagi, walau ini meruapakan opini namun saya melihat ini bukanlah langkah acak dan sporadis. Inilah saatnya kita harus lebih merapat membela KPK, karena jika kita meninggalkan KPK maka sempurnalah hasil dari strategi ini. Karena dia tahu persis jika tidak dibela oleh masyarakat, sudah lama KPK almarhum. #SaveKPK, #PecatKudaTroyaKPK. ***MG
Sumber bacaan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H