Mohon tunggu...
Mariska Lubis
Mariska Lubis Mohon Tunggu... -

Baru saja menyelesaikan buku "Wahai Pemimpin Bangsa!! Belajar Dari Seks, Dong!!!" yang diterbitkan oleh Grasindo (Gramedia Group). Twitter: http://twitter.com/MariskaLbs dan http://twitter.com/art140k juga @the360love bersama Durex blog lainnya: http://bilikml.wordpress.com dan mariskalubis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Untuk Indonesia - Sebuah Kisah Dari Mantan Seorang Korban Bencana

31 Oktober 2010   08:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 2071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

http://bukik.com/2010/10/29/indonesia-bercerita-untuk-merapi/

Sewaktu terjadi bencana di Kepulauan Nias beberapa tahun yang silam, tsunami besar yang juga menghancurkan Aceh, seorang anak menjadi korban. Dia kehilangan orang tua dan seluruh saudaranya. Luntang-lantung sendirian dan tak tahu mau berbuat apa ataupun tahu harus berbuat apa. Mirna, saat itu masih berumur 13 tahun. Apa yang terjadi dengan dirinya?!

Saya bertemu dengannya sekitar dua tahun yang silam, saya pada saat itu tidak tahu bahwa dia berasal dari sana dan adalah korban dari musibah yang terjadi. Yang saya tahu pada saat itu adalah, di usianya yang masih belia dia sudah menjadi seorang Pekerja Seks Komersial yang tertular penyakit kelamin akut sehingga harus menjalani serangkaian pengobatan medis.

Saya pun penasaran dengan latar belakangnya, sehingga pada akhirnya saya melakukan sedikit investigasi dan melakukan wawancara secara pribadi dengannya. Dia pun lalu menuturkan kisahnya kepada saya. Saya mencoba untuk menuliskan kembali apa yang saya ingat dari percakapan itu secara garis besarnya, ya!

“Bagaimana dirimu bisa sampai di sini?”

“Saya dibawa dari Medan ke sini oleh mantan suami saya.”

“Mantan suami?! Jadi dirimu pernah menikah?!”

“Saya menikah dengannya karena terpaksa. Saya masih berumur 15 tahun pada saat itu, sementara dia sudah berusia 53 tahun. Saya tidak punya siapa-siapa dan dia menolong saya banyak sekali. Dia yang membawa saya keluar dari “tempat penampungan” saya sebelumnya.”

“Lalu, apa yang terjadi?!”

“Ternyata dia sama saja! Dia bahkan lebih kejam. Saya dijadikan istri tetapi saya juga dijualnya ke mana-mana. Saya harus mencari nafkah, melayani kebutuhan seksualnya, dan harus melayani semua teman-teman dan orang-orang yang mau meniduri saya.”

“Apakah ini hanya sebuah cerita palsu belaka?!”

“Mbak silahkan bertanya saja sama “mami”. Dia CS-nya suami saya.”

“Baiklah jika demikian. Saya percaya. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi denganmu hingga sampai harus menikah di usia sedemikian muda?!”

“Saya tidak punya keluarga, Mbak. Mereka semua hilang pada saat tsunami di Nias terjadi. Saya tidak tahu harus ke mana. Pada saat itu, ada yang datang ke penampungan dan mengajak saya untuk pergi bersamanya. Saya menurut saja, tak tahunya, dia menjebak saya. Saya diperkosanya dan saya lalu dibawanya lari ke Medan dan dijual di sana. Saya adalah korban dari musibah bencana yang terus menjadi korban.”

“Boleh saya tahu, apakah orang itu dari lembaga atau yayasan tertentu?! Seingatmu, ya! Saya tidak memaksakannya.”

“Nggak tahu, Mbak! Pokoknya orang itu yang datang dan membantu di tempat penampungan kami.”

“Baiklah jika demikian.”

Apa yang membuat saya sedih dengan hal ini?! Saat bencana, semua sibuk sehingga seringkali melupakan apa yang bisa terjadi di kemudian hari. Memang suasana tidak karuan dan tidak menentu, prioritas tetap prioritas, hanya saja, kita memiliki kebiasaan untuk melupakan jangka panjang. Selalu fokus dengan jangka pendeknya saja. Toh, kalau membantu pun hanya pada saat heboh saja, setelah sekian waktu, lupa dan kepedulian itu sepertinya lenyap begitu saja.

Saya pernah menuliskan “Mewaspadai Pelecehan Seksual dan Prostitusi Anak Pasca Bencana”. Bukan sebuah karangan atau imajinasi belaka yang berlebihan bahwa hal ini terjadi. Memang banyak yang tidak tahu, tidak mau tahu, atau dengan sengaja menutupinya. Yang tahu dan peduli pun tidak bisa berbuat banyak karena tidak mendapatkan dukungan dan support, sehingga tidak heran bila kemudian peristiwa dan kejadian terus berlanjut. Kenapa tidak ada yang memperhatikan hal ini?! Apa karena tidak penting?! Bukan prioritas?! Seks gitu, loh!!!

Satu catatan penting yang sebaiknya dijadikan masukan dan perhatian bagi semua yang merasa peduli dengan kemanusiaan atas musibah yang sekarang ini sedang terjadi. Belajar dari Aceh, Nias, Padang, dan Bantul, berapa banyak anak yang menjadi korban human trafficking?! Berapa banyak sudah yang menjadi korban pelecehan seksual?! Berapa banyak yang pada akhirnya mengalami gangguan kejiwaan yang berpengaruh pada perilaku seksualnya?! Jangan tutup mata ataupun tidak mau mengakuinya, bahwa meski musibah terjadi, hubungan seksual tetap banyak yang melakukan meski di tempat-tempat darurat. Seks adalah salah satu pelampiasan yang memang banyak dilakukan untuk “meringankan beban”, selain merupakan kebutuhan dasar manusia. Apakah ada tempat di mana anak-anak itu tidak melihatnya?! Itu saja contoh yang paling mudahnya.

Memang pada saat musibah, prioritas tetap utama. Itu semua tidak bisa dipungkiri dan memang harus dilakukan. Hanya saja, kita semua juga harus memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk jangka panjang dan bermanfaat untuk masa ke depannya. Rumah bisa dibangun, sarana dan fasilitas juga sama. Kerja dan uang bisa dicari tetapi trauma itu membekas seumur hidup. Pengaruh atas trauma bila tidak diatasi secara serius akan terus ada dan berlanjut. Bahkan bisa berdampak sampai ke generasi berikutnya yang tidak tahu menahu ataupun menjadi korban secara langsung.

Bayangkan saja nasibnya Mirna, apa yang akan terjadi dengannya?! Bagaimana bila dia memiliki anak kemudian hari?! Apakah kita masih juga menutup mata tentang hal ini?!

Salah seorang sahabat saya, Mas Bukik atau Budi Setiawan, yang aktif menjadi coach Appreciative Inquiry untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, menyebutkan bahwa anak adalah pihak yang terkena dampak berganda dari sebuah bencana sebagaimana bencana Merapi.

  1. Anak beresiko mengalami trauma ketika mengalami pengalaman bencana,
  2. Anak cenderung tertekan karena perubahan rutinitas kehidupan,
  3. Anak terkena dampak fluktuasi emosi orang tua akibat bencana,
  4. Anak tinggal lebih lama di kamp pengungsian dibandingkan orang dewasa.

Beliau aktif di dalam Imagine Indonesia – Indonesia Bercerita Untuk Merapi. Di mana kegiatan ini dilakukan karena “Pada awal bencana, tanggap darurat adalah aksi utama yang perlu menjadi perhatian. Tetapi setelah itu, perlu ada upaya penanganan dan pemulihan pada anak agar menjadi resilience dan bahkan lebih berdaya pasca bencana nantinya.” Salah satu solusinya adalah melalui terapi cerita anak oleh relawan pendamping korban bencana. Sepakat!!!

Bila ada yang tergerak dan tertarik dengan kegiatan ini, silahkan masuk ke link ini: http://indonesiabercerita.org/ .

Saya sendiri pun memiliki program terapi menulis untuk menghilangkan trauma termasuk anak-anak yang mengalami musibah lewat salah satu program ML SMART yang saya sedang kembangkan.  Saya sedang bekerjasama juga dengan beberapa pihak untuk melakukannya agar mereka semua bisa tumbuh menjadi anak Indonesia yang sehat dan kuat.

Bang Risman A. Rachman alias Rismanaceh, saya juga tanyakan tentang hal ini mengingat pengalaman beliau menangani masalah pasca tsunami di Aceh.

Anak Aceh Berkisah- doc. Risman Cerita Dari Aceh - doc. Risman Mimpi-Mimpi... doc. Risman

Dulu waktu tsunami, ada teman-teman seniman yang buat kegiatan seni untuk pemulihan trauma ke semua lokasi pengungsian dan barak-barak pengungsi. Mereka bermain, bercerita, dan lainnya dengan anak-anak. Salah satu dampak yang terasa sekali adalah laut pun sekarang dipenuhi anak-anak lagi. Mereka sudah tidak takut lagi dengan laut. Mereka juga menjadi pribadi yang tidak takut dengan gempa, tidak seperti sebelumnya. Baru gempa sedikit semua sudah teriak.

Di saat sekarang ini pun masih ada kegiatan yang dilakukan, salah satunya adalah kegiatan dalam Pameran dan Panggung Pengurangan Resiko dengan menyampaikan info soal bagaimana mengurangi resiko bila ada gempa, tsunami, serta bencana lainnya lewat syair, tarian, dan lain-lain. Anak-anak yang tampil dalam pentas ini bercerita dalam bentuk syair tentanghidup dan mati sebagai sesuatu yang bisa datangkapan saja dan dengan cara apa saja. Semua diri, zaman, dan keadaan memiliki takdirnya sendiri. Sebelumnya, pesan-pesan pun disampaikan lewat pentas lawak tentang bencana.

Dia sendiri sedang aktif menggiatkan Imagine Aceh lewat kisah #negeritanpabendera sebagai salah satu bentuk kepeduliannya terhadap masa depan semua.

Yuk, kita sama-sama memikirkan hal ini dan membantu dengan memberikan yang terbaik untuk Indonesia. Demi masa depan dan kehidupan yang lebih baik. Jangan lupa juga berdoa untuk Indonesia, ya! Semangat!!!

Salam Kompasiana,

Mariska Lubis

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun