[caption id="attachment_78793" align="alignleft" width="286" caption="Illustrasi: www.paulwrightjewellery.com"][/caption] Memang gampang, sih, nikah sirih. Murah lagi!!! Tidak perlu repot-repot juga mendaftar ke sana-sini. Makanya ini alternatif paling mudah bagi mereka yang ingin berpoligami. Sudah sah pula, katanya. Berani bertanggung jawab?! Saya pernah bercerita tentang seorang teman yang menikah sampai sembilan kali dengan alasan karena ingin punya anak. Soalnya, istri pertama sampai ke delapan yang dinikahinya itu tidak juga memberikannya keturunan. Sampai kemudian istri terakhirnya ini hamil dan diikuti pula jejaknya oleh istri pertama. Istri kedua sampai kedelapannya pun diceraikan. Jadi, tinggal sisa dua orang istri saja dan sudah memiliki tiga orang putra dan putri sekarang. Menurut saya, sih, alasan dia sama sekali tidak masuk di akal. Kalau doyan, ya, bilang saja doyan, ya?! Kenapa harus pakai banyak alasan segala. Saya juga tidak mengerti kenapa para perempuan itu mau menikah dengannya. Apa karena memang pria ini bisa memberi masing-masing uang saku Rp. 1 Milyar, ya?! Hmmm.... Kasihan banget, deh!!! Buat saya, keadaan seperti ini sangat menyedihkan sekali karena sebegitu mudahnya pernikahan dan perceraian itu terjadi. Apa tidak dipikirkan apa konsekuensi dari perkawinan dan perceraian yang semudah itu terjadi?! Patut saya akui, saya sendiri pernah terjebak dalam pernikahan yang tidak dilakukan dengan berpikir panjang. Akibatnya, ya, begitu, deh!!! Semuanya jadi berakhir dengan amat sangat tidak mengenakkan. Kacau balau tak karuan biarpun sekarang ini semuanya sudah bisa diatasi dengan baik, namun yang namanya luka tetap saja ada. Ya, kan?! Saya tidak mau memungkirinya. Kita seringkali juga bicara tentang bagaimana liarnya orang-orang di negara Barat yang dianggap sebagai biang keladi dari segala kerusakan moral di tanah air kita ini. Tapi bila saya membandingkan dengan mereka untuk urusan pernikahan dan perceraian, kok, sepertinya tidak klop sama sekali, ya?! Di Barat, tidak mudah, lho. melakukan pernikahan. Syaratnya banyak sekali. Jangan tanya soal perceraian. Lebih ribet lagi!!! Tanggung jawabnya juga besar. Mantan suami dan mantan istri tetap sama-sama bertanggung jawab atas anak mereka. Gaji bisa langsung otomatis dipotong untuk membiayai sang buah hati. Bila mantan istri itu belum menikah lagi pun, mantan suami tetap harus bertanggung jawab atas sebagian nafkahnya. Dan ini bukan hanya sekedar di atas kertas, tetapi sebuah kewajiban. Bila melanggar ada sangsi hukumnya. Nah, kalau di sini?! Walah!!! Kebanyakan, sih, mana peduli?! Siapa juga yang mau memberikan hukuman?! Padahal bila dilihat dari aturan agama, bukannya wajib, ya?! Kenapa nggak yang ini yang dipikirkan terlebih dahulu?! Kalau semua ini dipikirkan, paling ujung-ujungnya bilang, "Yah, namanya juga manusia!!!". Padahal, justru ini dia awal mulanya. Buat saya, sebagai manusia, bila berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Jangan pula selalu menuntut hak dengan alasan berbagai macam kebenaran yang diputarbalikkan sedemikian rupa. Kewajiban saja dululah dipenuhi. Baru kita bicara soal hak. Menikah itu bukan sesuatu yang mudah. Ada banyak sekali tanggung jawab di dalamnya. Baik sebagai suami maupun sebagai istri dan sebagai orang tua. Tidak semudah itu untuk bisa menjadi orang yang adil. Kalau hanya bicara harta, ya, mungkin saja, tetapi bila bicara soal yang lainnya, saya nggak yakin, tuh!!! Rasa egois dan selalu merasa benar saja sudah membuat seseorang bisa dibilang tidak adil. Berkata benar pun belum bisa. Ini sudah bisa dengan hebatnya mengaku bisa menjadi manusia yang paling adil. Apa benar sudah adil?! Buktikan, dong?! Bila memang merasa adil, bagaimana dengan rasa dan tanggung jawabnya terhadap bangsa dan negara. Negara kita ini dibangun dengan susah payahnya oleh para pendahulu kita yang berjuang mati-matian demi kita semua dan generasi mendatang. Semua yang dibuat sudah dipikirkan matang-matang demi terciptanya keadilan serta kemakmuran bangsa dan negara. Tidak ada yang disingkirkan. Tidak ada juga yang bisa merasa sebagai mayoritas ataupun minoritas. Ini bukan masalah suara terbanyak, tetapi masalah hormat dan rasa keadilan itu sendiri. Jangan diputarbalikkan seolah-olah negara ini yang salah. Jangan pula pernah berkata bahwa landasan negara kita ini kadarluarsa. Apa bisa membuat seperti yang pernah mereka buat?! Jangan asal bicara, ya!!! Pikirkan matang-matang terlebih dahulu dan bercerminlah!!! Nikah sirih dan poligami bisa saja dianggap sah tetapi pikirkanlah baik-baik masa depan bangsa dan negara ini. Tidakkah ada rasa cinta sedikit pun kepada ibu pertiwi yang telah memberikan cinta tanpa syaratnya kepada kita semua?! Bukankah kita semua diajarkan untuk selalu memiliki rasa cinta yang tulus?! Tidak mengharapkan segala sesuatu baik pahala dan surga sekalipun?! Kalau memang masih ada yang diharapkan, apa masih bisa disebut tulus dan ikhlas?! Pernahkah juga mencoba untuk memaknai arti negara ini sendiri dari kaca mata keyakinan dan ajaran masing-masing?! Saya memang bukan ahli agama yang pandai menguraikan ini semua, tetapi saya juga tidak buta. Saya tidak mau buta. BACA dengan mata hati itulah yang tertulis pertama dan ini yang selalu saya coba dan usaha lakukan. Semua ini saya lakukan demi bangsa dan negara saya yang sangat cintai ini. Terserah bagaimana dengan yang lain. Saya juga tidak mau berharap banyak. Ini adalah sebuah pilihan. Silahkan memilih. Selamat berpikir dan menentukan pilihan!!! Salam Kompasiana, Mariska Lubis Baca juga 10 ARTIKEL PILIHAN LAINNYA:
-
Yuk, Tebak-Tebakan Hasil Pansus!
-
Mariska Menemukan Tuhan di Buku Seks
-
Menemukan Tuhan Lewat Seks
-
Gila! ML Berjamaah buat Cetak Rekor Dunia
-
Duh! 62,7 % Siswi Sudah tak Perawan?
-
Wow! Bu Bupati dan Pak Wakil Selingkuh?
-
Seks Itu Apa?
-
Pansus Century, Pejuang atau Pecundang?
-
Kok Demokrat Kebakaran Jenggot, Sih?
-
Katakan dengan Seks
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H