Mohon tunggu...
Mariska Lubis
Mariska Lubis Mohon Tunggu... -

Baru saja menyelesaikan buku "Wahai Pemimpin Bangsa!! Belajar Dari Seks, Dong!!!" yang diterbitkan oleh Grasindo (Gramedia Group). Twitter: http://twitter.com/MariskaLbs dan http://twitter.com/art140k juga @the360love bersama Durex blog lainnya: http://bilikml.wordpress.com dan mariskalubis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harmony of Ebony and Ivory, Irony of Hegemony And Tyranny

4 September 2010   00:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:28 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_248676" align="alignleft" width="247" caption="Illustrasi: nortelalum.com"][/caption] “Ebony and Ivory”, sebuah lagu yang dibuat oleh Paul Mac Cartney dan dinyanyikan oleh Stevie Wonder. Sebuah lagu yang meledak di tahun 1982 sebagai penggambaran perbaduan harmoni antara hitam dan putih. Tuts pada piano yang hitam dan putih yang dimainkan dengan baik atau harmoni  integrasi rasial  secara lebih mendalam menjadikan sebuah keindahan. Hegemony and Tyranny”, pemimpin dan penguasa, juga merupakan sebuah perpaduan tersendiri. Sebuah harmoni disintegrasi radikalisme yang bila dimainkan dengan baik akan menjadikan sebuah ironi penderitaan dan kesusahan yang berkepanjangan dan berlarut. Hitam adalah warna solid yang merupakan perpaduan dari seluruh warna dan menyerap seluruh frekuensi cahaya sehingga tidak memantulkannya. Sementara putih adalah kebalikannya. Putih menstimulasikan semua cahaya dan memantulkannya kembali. Perpaduan tidak selalu menghasilkan keindahan ataupun ironi. Terkadang bahkan seringkali kita terjebak dengan perpaduan. Apa yang dihasilkan belum tentu sesuai dengan apa yang kita harapkan, lihat, dengar, ataupun rasakan. Perpaduan antara hitam dan putih, mereka yang menyerap dan memantulkan kembali menjadi sebuah keunikan tersendiri. Sama seperti perpaduan hitam dan putih, yang menjadi abu-abu. Tidak terang dan tidak juga gelap sehingga seringkali menyebabkan semuanya menjadi saru. Mana yang baik dan mana yang buruk menjadi tidak jelas lagi. Mana yang benar dan mana yang salah juga tidak diketahui. Membuat mana yang sakit dan mana yang “waras” pun semakin tidak bisa dideteksi lagi. Perpaduan serigala dan domba yang menjadi serigala berbulu domba membuat kita semua tertipu. Pejuang pembela kebenaran, aktivis pejuang keadilan, polisi moral, kaum intelektual dan elite, negarawan dan politisi, yang mana yang hitam, yang mana yang putih?! Mereka yang tertuduh, terzalimi, ditindas, mereka yang menuduh, menghujat, mancaci maki, dan menghakimi, mana yang hitam dan mana yang putih?! Semuanya sudah abu-abu bukan?! Seorang perempuan diperkosa dengan alasan mengenakan pakaian minim dan tidak senonoh. Apakah karena pakaian minim dan tidak senonoh maka dia menjadi tidak baik dan boleh diperlakukan tidak baik?! Sang pria pemerkosa mengenakan pakaian rapih, sopan, dan pantas serta selalu berkata tentang kebenaran menjadi tidak bersalah dan boleh melakukan hal yang tidak baik?! Seseorang yang berpakaian compang-camping dan duduk terlunta mengemis di pinggir jalan. Apakah karena dia berpenampilan seperti itu maka dia patut untuk dikasihani dan menjual kesedihan?! Seseorang yang berpakaian mewah dan serba mahal duduk di dalam sebuah hotel berbintang. Apakah karena dia berpenampilan seperti itu maka dia patut untuk dihormati dan menjadi yang dipuja?! Seseorang yang dihukum karena dianggap telah melakukan perbuatan asusila dan melanggar moral dan etika apakah lebih hina dari mereka yang menangkap, menuding, menghujat, dan menghakiminya?! Sebegitu tinggi hati dan sombongnya diri bila menganggap diri sendiri dan kelompoknya jauh lebih baik, lebih suci, dan lebih benar dari yang lainnya. Apakah sabda kebenaran itu hanya tameng bagi pembenaran untuk kepentingan pribadi dan kelompok saja?!  Apa moral?! Apa etika?! Apa fungsinya sebuah perbedaan bila tidak ada persamaan?! Hegemony adalah kepemimpinan pemimpin yang memiliki kekuatan politik, ekonomi, sosial dan juga budaya. Mendominasi kegiatan politik di dalam sebuah wilayah tertentu  sehingga bisa menentukan dan mengambil keputusan atas apa yang akan dilakukan di wilayah tersebut. Tyranny adalah penguasa yang memiliki kekuasaan dan dapat mengontrol serta mempengaruhi tanpa harus mengikuti peraturan hukum ataupun perundangan yang berlaku. Mereka memiliki aturan dan peraturan “main” sendiri karena kekuasaan yang mereka miliki. Begitu juga dengan perpaduan antara hegemony dan tyranny. Kata siapa selalu menghasilkan ironi?! Tanyakanlah langsung kepada mereka meski tidak akan ada yang pernah mau mengakuinya. Kenyamanan dan kesenangan tentunya yang mereka dapatkan. Apa yang mereka inginkan bisa didapatkan dengan mudahnya. Apalagi bila permainan yang mereka lakukan itu berhasil. Siapa yang tidak menginginkannya?! Pemimpin dan penguasa yang bersatu tentunya tidak perlu memikirkan apa dan bagaimana mereka yang dipimpin dan dikuasainya. Semua ada di tangan mereka. Siapa yang berani melawan, tinggal disingkirkan saja. Segala cara bisa ditempuh dan diupayakan dengan berbagai macam cara. Membuat semuanya menjadi abu-abu yang tentunya memudahkan dan memperlancarkan pencapaian hasil yang mereka inginkan. Tak lain dan tak bukan hanya untuk diri sendiri. Lalu, apakah perpaduan antara demokrasi dan kebebasan yang dianggap sebagai jalur tengah bisa menyelesaikan semua ini?! Apakah benar demokrasi dan kebebasan bisa menggabungkan integrasi rasisme dan distegrasi radikalisme?! Tentunya semua tergantung lepada keabu-abuan demokrasi dan kebebasan itu sendiri. Bila masih abu-abu, sepertinya sulit untuk bisa mencapai tujuan dan menggapai semua mimpi. Demokrasi bukanlah hanya sekedar mengumpulkan suara terbanyak dan lalu mayoritas bisa digunakan sebagai sebuah sarana politik untuk kembali menjadi hegemony dan tyranny. Cultural hegemony, yang sebenarnya bagian dari sebuah upaya demokrasi dengan melakukan konsensus, pada kenyataannya dipahami sebagai bagian dari demokrasi untuk melakukan pemaksaan. Bukankah begitu?! Makanya jangan heran bila damai itu masih hanya seputar perjanjian di atas kertas saja. Siapa yang membuat dan menjadikan semua ini terjadi?! Kebebasan juga bukanlah kemudian berarti sudah adil dan merupakan bagian dari keadilan bila tidak mengikuti aturan dan peraturan yang berlaku. Apa bedanya kemudian dengan tyranny yang tidak mengindahkan peraturan dan membuat peraturan sendiri. Sama-sama memaksakan kehendak dan sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat untuk mengatasnamakan kepentingan bersama, apalagi kepentingan bangsa dan negara. Makanya juga, jangan heran bila tidak ada perubahan. Duduk persoalan dan akar permasalahan pun tidak bisa melihat dengan jelas, bagaimana mau membenahi benang kusut?! Harapan selalu ada bila yang dipadukan itu adalah rasa cinta dan ketulusan hati. Cinta yang sesungguhnya bisa mengalahkan segalanya dan ketulusan yang sebeenar-benarnya bisa memberikan segalanya. Selalu rendahkan hati untuk bisa memiliki cinta dan ketulusan agar bisa selalu belajar dan belajar serta membuat kita semua menjadi semakin kenal dan tahu apa dan siapa kita sebenarnya. Tidak akan pernah ada perubahan bila diri kita sendiri belum berubah. Tidak akan pernah ada mimpi yang nyata bila tidak ada bintang yang diukir di langit. Irony of  Ebony and Ivory?! Harmony of Hegemony and Tyranny?! No way!!! Love, Peace, and Freedom!!! Salam, Mariska Lubis Catatan: Tulisa ini juga dimuat di Aceh Institute bersama tulisan-tulisan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun