Mohon tunggu...
Mariska Lubis
Mariska Lubis Mohon Tunggu... -

Baru saja menyelesaikan buku "Wahai Pemimpin Bangsa!! Belajar Dari Seks, Dong!!!" yang diterbitkan oleh Grasindo (Gramedia Group). Twitter: http://twitter.com/MariskaLbs dan http://twitter.com/art140k juga @the360love bersama Durex blog lainnya: http://bilikml.wordpress.com dan mariskalubis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dialog Mencari Kebenaran – Apresiasi Buah Pikir Kompasianers (2)

7 Juni 2010   11:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:41 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_160254" align="alignleft" width="300" caption="Illustrasi: redstick.wordpress.com"][/caption]

Kemarin saya mempublikasikan tulisan yang berjudul ”Apakah Kebenaran Itu Tidak Pernah Ada?!” dan saya senang sekali karena banyak sekali komentar yang masuk dengan buah pikir masing-masing yang menurut saya sangat luar biasa sekali. Oleh karena itulah, dalam kesempatan ini saya ingin mempublikasikan dialog dalam mencari kebenaran yang ada, sebagai apresiasi terhadap ini semua.

Perlu diketahui sebelumnya, bahwa ini bukanlah hal yang baru pertama kali saya lakukan ataupun Kompasiners lain lakukan. Dulu, di Kompasiana ini sering sekali apresiasi terhadap komentar di-publish ulang dalam bentuk tulisan. Ya, ini sekalian juga mengenang betapa indahnya masa-masa itu ketika para Kompasianer bisa berdiskusi dengan bebas sesuai dengan pendapat masing-masing dalam bentuk buah pikir yang inspiratif, bermanfaat, dan menarik. Inilah yang menjadikan Kompasiana menjadi sebuah rumah yang sehat. Saya berharap sekali ini bisa terjadi lagi di Kompasiana ini, karena hanya dengan cara inilah kita semua bisa belajar dan saling belajar. Toh, berdiskusi ataupun berdebat pemikiran itu membuat kita semua menjadi lebih tahu banyak. Asal jangan SARA dan dibawa-bawa keluar dari tulisan saja, ya!!! Beda pendapat dalam tulisan bukan berarti harus berantem di luar sana, kan?! Semoga, ya?!

*****

Sulthon Fatawi : kebenaran hanya ada dilangit. kalau dibumi kebenaran sering rancu dengan keyakinan. walau keyakinan belum tentu benar juga adanya. baik kebenaran ilmiah, kebenaran agama, ataupun kebenaran diri sendiri mana yang paling benar. mungkin semua ada benarnya hanya mungkin kita yang belum tahu kebenaran itu sendiri, sehingga sering ribut dengan masalah yang kurang esensial dari kebenaran itu. atau mungkin faktor bahasa juga menghambat terungkapnya suatu kebenaran. karena perbedaan kata dan istilah tambah membikin riuh padahal tujuannya sama. mencari dan menuju kebenaran. “banyak jalan menuju ke roma” apapun pilihan jalan anda tujuan kita sama. i like jalur kebenaran ibnu rusd.

Balas tanggapan

Mariska Lubis : banyak jalan menuju Roma dan memang setiap orang seharusnya memilih jalannya masing-masing untuk menemukan kebenarannya itu… Toh ujung-ujungnya juga ke siapa lagi selain ke DIa?! Karena hanya Dia lah awal dan akhir… yang juga tidak terbatas dan abadi… Itu kalau memang benar-benar mau dicari… tidak mentok lagi di pembenaran… heheheheh…

saya sangat menghargai pilihanmu… good for u!!! lanjutkan pencariannya ya!!!

kupret elkazhiem : Saya kasih contoh yang ada kaitannya dengan pemikiran keagamaan, bahwa suatu kebenaran adalah persoalan penafsiran akan teks-teks agama yang dianggap benar. Sehingga ketika ada penafsiran yang berbeda maka akan serta merta dianggap salah. Yang terpenting bagi saya sebagai manusia bukan adanya kebenaran dan tidak benar, karena sesuatu yang berasal dari manusia sifatnya nisbi dan relatif, maka yang terpenting adalah mengkompromisasikan antara persepsi-persepsi manusia.

ilustrasinya, semua dalil agama bisa jadi mengajarkan nilai2 moral, kebaikan, perdamaian, dan bla bla bla. Dan katanya semua orang bebas beragama apa saja, tetapi nalar agama bisa jadi terdistorsi oleh paradigma otoriter. Otoritarianisme yang dimaksud di sini adalah seperti yang diutarakan oleh Khaled Abou el-Fadl, yaitu mengkooptasi penafsiran atau mengunci satu teks pada satu pemaknaan tunggal dan menyumbat kemungkinan penafsiran yang lain. Sikap itu sesungguhnya menunjukan bahwa seolah-olah, dengan menetapkan satu pemaknaan pada satu teks, dialah yang tahu hakikat makna yang sesungguhnya. Seoalah seseorang tersebut mengetahui kehendak Tuhan dan lantas penafsirannya menjadi mutlak dan absolut.

Dalam tindakan yang seperti itu, tanpa disadari, sebenarnya telah terjadi perubahan posisi dan peran. Pencarian makna teks yang dilakukan oleh pembaca harus selalu ditempatkan dalam naungan asumsi bahwa usahanya mencari makna adalah usahanya mencari dan mendekati kebenaran. Usaha tersebut bukanlah realitas kebenaran itu sendiri.

Apabila seseorang telah menetapkan satu makna penafsiran atas satu teks, dan hanya satu-satunya yang diyakininya sembari mengingkari alternatif pemaknaan lain atau menuding bahwa penafsiran yang berbeda sebagai pendosa, infidel (kafir), dsb. Di sini sesungguhnya teks telah larut ke dalam karakter pembaca. Teks telah terperkosa. Pembaca telah berubah posisinya menjadi teks, bahkan bisa jadi sekaligus pengarang (Tuhan). Itulah pola otoriter. Perbuatan itu tanpa disadari telah berujung pada penyekutuan Tuhan, yakni penyekutuan dengan dirinya sendiri. Karena secara tidak langsung ia telah mengambil alih posisi pengarang (author) yakni Tuhan. Ia telah menjadi Tuhan.

Kemunduran peradaban Islam, saya kira, salah satunya, berawal dari sikap otoriter ini. Sebagian besar kita sekarang ini mengunci rapat-rapat teks pada satu penafsiran. Seolah penafsiran-penafsiran telah baku. Namun naasnya, di Indonesia banyak orang yang nalarnya adalah nalar otoritarianisme, sehingga tidak bisa mengkompromisasikan yang namanya perbedaan dan pluralitas (kemajemukan). Dampaknya yang lebih parah adalah manusia (dg latar belakang agamanya) tetap terjebak pada perang ideologi dan kepentingan.

Balas tanggapan

Mariska Lubis : Tidak mudah menafsirkan firman yang diturunkan oleh-Nya… karena tidak hanya memerlukan kepandaian untuk membaca dengan mata namun harus dengan mata dan hati… agar tidak salah mengerti dan kemudian menjadi sombong… apalagi menggunakannya untuk mendapatkan eksistensi ataupun pengakuan… sehingga kemudian apa yang sebenarnya diajarkan itu tidak menjadi baik tetapi malah merusak dan mencoreng agamanya sendiri…

Otoriter itu ada karena kekuasaan dan tentunya untuk mendapatkan kekuasaan ataupun mempertahankan serta memperluas kekuasaan memerlukan strategi… dan banyak yang melakukan cara apapun juga untuk mendapatkannya… termasuk memutar balikkan fakta yang sebenarnya… menghasut dan juga perang… seperti yang saya ungkapkan lewat tulisan saya yang berjudul kompleksitas primordial modernisme pemikiran manusia… ini jelas sudah sangat tidak sehat… apalagi bila terus dilakukan dalam keadaan marah, dendam, dan juga benci… karena tidak ada seorang pun yang bisa berpikir jernih bila semua ini ada…

Dialog Mencari Kebenaran – Apresiasi Buah Pikir Kompasianers (1)

(bersambung)

Salam Kompasiana,

Mariska Lubis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun