Almarhum Hasan Tiro, namanya bukan hanya selalu mengingatkan saya tentang Aceh, tetapi juga pemikiran seorang filsuf terkenal Friedrich Nietzsche. Rumit dan sangat penuh dengan tanda tanya sehingga tidak mudah ditebak ataupun dimengerti. Bahasa dan kata yang digunakan selalu mengandung arti dan makna yang tidak bisa diartikan begitu saja. Amat sangat diperlukan pemikiran dan cara pandang yang luas atas sebuah pemikiran dasar filsafat yang sangat alamiah juga hati yang dipenuhi dengan cinta. “Tuhan sudah mati”, kata Nietzche. ”Jadikan kerja untuk perang, jadikan damai untuk menang”, kata Hasan Tiro. Dua buah kalimat yang sama-sama merupakan penggabungan antara seni dan logika pemikiran. Sangat menarik dan memiliki arti yang sangat luas. Semua yang membaca diajak untuk memiliki persepsi dan interpretasi masing-masing. Tidak semua sama karena yang paling tahu arti sebenarnya adalah yang membuat kalimat tersebut. Pertanyaannya, apakah memang sengaja dibuat demikian?! Bisa jadi!!! Paling tidak menjadi sebuah keharusan untuk belajar dan berpikir keras bagi mereka yang mau mengerti dan memahaminya. Pembedahan pemikiran Nietzsche banyak dilakukan begitu juga dengan pembedahan pemikiran Hasan Tiro. Banyak buku diterbitkan untuk membedah Nietzsche, banyak juga buku dipublikasikan untuk membedah pemikiran Hasan Tiro. Yang terbaru untuk Hasan Tiro saya dapatkan dari kiriman seorang sahabat, Lukman Emha. Buku pertama berjudul ”Hasan Tiro: The Unfinished Story of Aceh”yang ditulis beramai-ramai oleh penulis asal Aceh, diantaranya beberapa orang teman saya juga, dan satu lagi berjudul “Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinsky ” karya Harry Kawilarang. [caption id="attachment_250694" align="alignright" width="222" caption="HasanTiro Illustrasi: dteepzlicio.us"][/caption] Setelah membaca kedua buku ini dan membandingkan dengan tulisan-tulisan lain tentang Hasan Tiro yang pernah saya baca sebelum-sebelumnya, saya melihat bahwa jelas sekali ada perbedaan persepsi dan interpretasi atas pemikirannya dan ini menimbulkan masalah sendiri. Apalagi untuk kaum urban dan masyarakat yang mengaku modern seperti sekarang ini, sehingga diperlukan upaya untuk merekam kembali jejak sejarah budaya Aceh dan mengembalikan apa yang pernah ada itu seperti sediakala. Masyarakat seperti ini, menurut Nietzsche adalah “masyarakat yang menyedihkan yang telah kehilangan kesetiaannya terhadap masa lalu dan menyerah pada kosmopolitan yang tak mengenal lelah merangkak menuju yang baru dan selalu yang lebih baru” atau dalam istilah lainnya dia sebut sebagai “manusia tidak berkebudayaan”. Sedangkan menurut Hasan Tiro, adalah “yang telah kehilangan diri”. Ya, mereka yang tidak kenal apa dan siapa dirinya, melupakan budaya dan sejarahnya, adalah mereka yang tidak memiliki jati diri sebenarnya. Mereka menjadi sebuah kelompok masyarakat yang memiliki nilai yang homogen dan sangat terbatas pada rasionalitas kekinian yang mudah untuk dipermainkan, seperti yang diungkapkannya di “The Price of Freedom”. Menurut saya sendiri adalah “manusia penonton” akibat dari kompleksitas premordial modernitas pemikiran manusia terutama pada masa post-modern (sebuah kegagalan konsep pemikiran post-modern itu sendiri) yang menghasilkan komersialisasi dan industrialisasi pemikiran. Sejarah dan masa lalu dianggap sebagai sesuatu yang tidak modern dan primitif sehingga ditinggalkan dan dilupakan begitu saja. Lupa bahwa modern dan primitif itu bukan hanya sekedar penampilan fisik dan materi yang baru dan terus baru, tetapi adalah sebuah pandangan ke depan yang lebih maju. Akibatnya, ya, evolusi pemikiran manusia pun berhenti dan mundur terus ke belakang. Nietzsche dan Hasan Tiro, sama-sama memiliki pandangan yang sama terhadap nationality narcistsm. Di mana sebuah bangsa bisa menjadi besar bila mau menjadi dirinya sendiri dan mau menghormati serta menghargai dirinya sendiri. Ini merupakan sebuah upaya untuk memproteksi diri sekaligus untuk menunjukkan keberanian menjadi diri sendiri yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, kokoh, dan sangat mandiri. Tidak mudah terpengaruh atas hal-hal yang buruk di luar sana. Saya juga sependapat demikian, karena bila seseorang tidak memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, maka akan cenderung sangat labil dan mudah terpengaruh. Menjadi sangat takut dan pengecut karena hanya mengikuti arus yang ada agar tidak mendapatkan nilai buruk di mata manusia lainnya. Semakin lama akan semakin terkikis dan disadari tidak disadari, diakui tidak diakui, telah menjadi orang lain, bukan lagi dirinya sendiri. Mereka mengalami krisis identitas dan kelabilan pun menjadi majemuk. Dalam hubungan di dalam kebangsaan dan kenegaraan, seperti istilah yang sering kita dengar, bahwa ”bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya”, bukan hanya berarti pahlawan dalam perang saja, tetapi atas sejarah dan masa lalu. Apa yang telah ada di masa lalu itu merupakan siapa kita sekarang ini dan juga apa yang menjadikan kita di masa depan nanti. Sayangnya, kata sudah tidak lagi memiliki arti dan makna yang sebenarnya. Permainan politik hermeneutika bahasa sudah dimainkan sejak lama hingga sampai saat ini sebagai sebuah bagian dari pembodohan. Kepalsuan dan kebodohan pun semakin merajalela dan membuat semua semakin tidak mengerti dan paham arti dan makna kata. Teks pun hanya menjadi sekedar teks tanpa memahami konteks dalam setiap kata yang terurai dalam kalimat yang diucapkan dan dituliskan. Seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche bahwa subjektivitas berarti bahwa masing-masing orang terjebak dalam batasan-batasan miliknya sendiri yang berupa pengalaman pribadi murni. Bukan hanya berdasarkan perbedaan historis setiap individu saja tetapi juga faktor-faktor fisik yang pada akhirnya membentuk sebuah perspektivisme. Bila demikian keadaannya, maka perbedaan atas persepsi dan interpretasi pun bisa dengan mudahnya dijadikan alat dan sarana untuk menjadi hegemony dan tyranny. Politik pecah belah divide et impera bukan hanya dilakukan oleh penjajah tetapi juga dilanjutkan terus oleh darah daging sendiri yang haus akan pemenuhan hasrat dan nafsu untuk kepentingan pribadi dan segelintir kelompok serta golongan. Nationality narcistsm bisa diartikan secara radikal, tentunya menjadi lebih sangat keras dan cenderung mengarah kepada racistsm. “... pengejaan dari fungsi gramatikal tertentu adalah akhirnya juga pengejaan terhadap penilaian psiologis dan kondisi-kondisi rasial" kata Nietzsche. Narcist sendiri sering disalahartikan dan disalahgunakan untuk merasa lebih dari yang lain, meski memang awal mula kata tersebut berawal dari sebuah rasa cinta yang amat berlebih terhadap diri sendiri. Merasa cinta terhadap diri sendiri, meski berlebih, belum tentu berarti merendahkan yang lain, kan?! Oleh karena proteksi itu pun menjadi sedemikian radikalnya, maka bisa dianggap sebuah ancaman bagi yang lain ataupun juga sebagai sebuah perasaan terancam oleh yang lainnya. Bila sudah ada rasa terancam, ketakutan, tidak ada rasa saling percaya, maka reaksi yang timbul pun biasanya selalu dalam bentuk yang radikal pula. Jadilah kemudian keras dilawan dengan keras. Hasilnya?! Perang tiada henti. Militerisasi dilawan dengan otoriterian. Feodalisme berbaku hantam dengan tyranny. Padahal apa bedanya?! Hasilnya tetap sama. Nihilism Nietszche yang dikagumi Hasan Tiro pun terbukti benar adanya. Toh, semuanya sia-sia saja. Kembali lagi, mana jati diri yang sebenarnya?! Bukan hanya perang dengan yang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Kenapa demikian?! Kembali lagi kepada perbedaan persepsi dan interpretasi lagi. Di dalam sebuah kelompok masyarakat perbedaan itu tentunya terjadi. Tidak masalah bila perbedaan itu menuju ke sebuah satu tujuan bersama, yaitu menjadikan kehidupan lebih baik, di mana kepentingan bersama harus lebih didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi dan golongan. Bila masih ada kepentingan pribadi dan kelompok, tentunya perlawanan alias perang terhadap diri sendiri pun akan ada dan terus berlanjut. Siapa yang paling dirugikan?! Siapa lagi kalau bukan diri sendiri juga. Yang susah, sedih, dan menderita itu siapa?! Jika memang mau memiliki kehidupan yang lebih baik, cobalah untuk mengembalikan lagi semua fakta dan kebenaran atas masa lalu itu. Budaya dan sejarah masa lalu itu adalah diri kita yang sebenarnya. Bila tak kenal, maka siapa yang sayang?! Yang disayangkan kemudian hanya diri sendiri saja, sehingga semua yang dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi saja. Apa yang dibanggakan pun tak tahu apa dan kenapa. Semua hanya katanya dan katanya, kan?! Yah, tak jauh pula dari sekedar kebanggaan atas sebuah keturunan tanpa tahu apa yang sebenarnya harus dibanggakan. Mengakui bahwa diri kita ini sebenarnya adalah ”nihil” merupakan sebuah kejujuran yang bisa membuat kita berkeinginan untuk mau merendahkan hati dan terus belajar. “Yang gabuk-gabuk cok si-hah yang bagah-bagah cok si-deupa”, - jika terburu-buru melakukan segala sesuatunya hanya mendapatkan hasil yang kecil - kata Hasan Tiro. Tidak mudah untuk berusaha mencapai cita-cita dan keinginan. Dibutuhkan keinginan kuat melawan diri sendiri untuk bisa meraihnya karena semua ada proses yang harus dilewati. Hanya seseorang yang bisa berdamai dengan dirinya sendiri, dialah yang menang. Dia yang memiliki kebahagiaan adalah mereka yang yang memiliki jiwa merdeka. ”Adalah di sini bahwa jalan-jalan yang diikuti manusia terpecah. Apakah Anda ingin jiwa yang damai dan kebahagiaan?! Maka percayalah. Apakah Anda mengabdi kebenaran dengan lebih baik? Maka carilah kebenaran itu.”- Nietzche. Terlepas dari maksud dan tujuan Nietzsche dan Hasan Tiro di dalam menulis, namun untuk bisa mengerti dan memahami sebuah pemikiran amat sangat diperlukan usaha dan kerja keras agar tidak timbul persepsi, interpretasi, asumsi ataupun dugaan yang bisa dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan tertentu saja. Perbedaan memang tidak bisa dihindari tetapi jangan dijadikan alat untuk pembenaran atas perilaku, namun untuk membentuk sebuah keindahan. Ibarat pelangi, meski tujuh warna berbeda tetapi menjadi indah karena menjadi ”pelangi”. Siapakah penciptanya?! Bagi saya, Aceh adalah potret nyata paling ekstrem atas fakta dan kenyataan kehidupan yang terjadi di Indonesia ini. Hampir di seluruh nusantara terjadi hal yang sama, bahkan di Ibukota Jakarta pun demikian. Saya mungkin tidak merasakan seperti apa yang dirasakan oleh masyarakat Aceh, tetapi saya bisa merasakan apa yang terjadi di tempat saya berada sekarang ini. Saya tidak ingin semua ini terus berlanjut, dan karena itulah saya menuliskan ini untuk semua, bukan hanya untuk Aceh saja Salam, Mariska Lubis Tulisan ini juga dimuat di Aceh Instute 23 Agustus 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H