[caption id="" align="alignleft" width="276" caption="Illustrasi"][/caption] SIAPA yang nggak mau? Siapa yang tidak suka? Semua juga pasti menginginkan hal yang satu ini. Menjadi patokan sebuah pencapaian setiap kali melakukan kegiatan dan aktivitas seksual. Tetapi, apakah orgasme itu sebenarnya? Banyak yang bertanya, "Mbak, bagaimana, sih, tahunya perempuan sudah orgasme atau belum?". Ada juga yang bertanya, "Bagaimana pasangan sesama jenis bisa mencapai orgasme bila melakukannya lewat anus?". Ada lagi, nih, "Kalau perempuan, katanya bisa mencapai orgasme saat sedang menyusui?". Hehehe.... Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Masa, sih, orgasme saja tidak tahu! Tapi, wajarlah. Habis, jarang dibahas dalam bentuk bahasa. Kebanyakan tahunya lewat pengalaman dan otodidak. Kalaupun ada yang lewat bacaan, biasanya soal bagaimana cara mencapainya. Iya, nggak? Sebetulnya, sulit mendeskripsikan apa itu orgasme. Bisa sangat bervariasi dan banyak sekali variabel yang mempengaruhinya. Agak pusing juga saya. Definisi kata "orgasme", yang diambil dari bahasa Yunani, orgasmos, sampai sekarang ini masih terus diperdebatkan oleh para pakar di dunia. Masing-masing memiliki definisi sendiri-sendiri. Ada yang melihatnya dari sisi medis, tetapi ada juga yang melihatnya dari sisi psikologis. Biarpun mirip, tetapi ada perbedaan nyata terutama soal respon dari tubuh. Makanya, soal orgasme ini terus saja diteliti baik oleh pakar kesehatan, medis, maupun ahli bahasa, filsuf, dan sosiolog. Semakin lama, pasti akan semakin banyak penemuan-penemuan baru dan definisi baru tentang orgasme ini. Kita ambil salah satu definisi saja, ya!!! Definisi yang paling mudah dan paling gampang buat kita cerna bersama. Orgasme adalah sebuah fase puncak (kalau di gunung, sih, pas meletusnya!!!) atas respon siklus kegiatan seksual. Dikontrol secara otomatis dan tanpa kita sadari secara nyata oleh apa yang dinamakan sistem limbic di dalam otak, yang diikuti dengan kontraksi yang terjadi di otot seputar kemaluan dan organ seksual. Ada perubahan di dalam detak jantung, yang biasanya menjadi lebih cepat, juga tekanan darah, serta seringkali membuat nafas menjadi lebih dalam dan terengah-engah. Sensasi yang dirasakan saat orgasme, bisa dirasakan oleh seluruh tubuh. Apalagi kemudian ada unsur psikologis di mana orgasme sendiri memberikan kepuasan tersendiri di dalam hati dan pikiran. Ketenangan yang diperoleh dari keluarnya hormon endorphine, juga membuat tubuh menjadi lebih rileks sesudahnya. Kalau pria, biasanya, orgasme tercapai bila terjadi stimulasi pada penis, sedangkan untuk wanita, stimulasinya di dalam vagina dan di klitoris. Pernah dengar, kan, istilah clitoral orgasm dan vaginal orgasm?! Stimulasinya sendiri tergantung dari kegiatan seksual yang dilakukan. Bisa dengan masturbasi, penetrasi, seks oral, atau juga lewat getaran (mainan vibrator) dan lain-lain. Nah, hanya saja, kalau pria orgasme biasanya dicapai berbarengan dengan keluarnya sperma, sementara perempuan masih belum jelas. Baru-baru ini, peneliti menemukan adanya pengerasan pada klitoris pada saat orgasme, dan juga perubahan warna pada labia minora-nya. Menjadi lebih gelap!!! Cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar clitoral juga menjadi lebih banyak saat hendak mencapai orgasme. Makanya, suka banyak yang rancu dan bilang kalau perempuan juga "keluar" saat orgasme. Hehehe.... Biarpun orgasme itu otomatis, tetapi bisa juga dikontrol, lho!!! Bila dilatih, kita bisa mengontrol kapan kita mau mencapai orgasme. Ini hanya masalah bagaimana kita mengontrol otak kita sendiri. Cara yang paling mudah untuk bisa mengetahuinya adalah lewat masturbasi. Saya memang menyarankan untuk tidak sering masturbasi karena ini bisa membahayakan kesehatan fisik dan psikologis, tetapi masturbasi boleh saja dilakukan, terutama untuk kita belajar mengeksplorasi dan mengenal tubuh kita sendiri. Soalnya, kita jadi tahu di mana tempat-tempat yang paling sensitif dari tubuh kita dan teknik atau stimulasi apa yang membuat kita paling mudah mencapai orgasme. Bagaimana dengan orgasme lewat anus? Apa benar bisa? Kalau dilihat dari syaraf yang ada di kemaluan, baik di seputar penis maupun dalam vagina, syaraf ini berbubungan erat dengan syaraf yang ada di dalam anus dan di seputar anus. Dekat banget, sih!!! Stimulasi yang dilakukan di seputar anus dan di dalam anus, bisa merangsang syaraf seksual di seputar kemaluan. Alhasil, orgasme, pun bisa saja tercapai. Saya tidak menyarankan anal seks ini untuk dilakukan, karena bisa merusak organ di dalam anus dan belum lagi soal virus serta bakteri dan kuman lainnya yang terdapat di dalam sana yang bisa berbahaya bagi kesehatan. Wong, bukan tempatnya, kok!!! Tetapi, karena ini adalah pilihan, silahkan Anda sendiri yang berpikir dan menentukannya. Resiko dan tanggung jawabnya ada di masing-masing, dan jangan membawa pihak lain, terutama pasangan yang "tidak bersalah" atau "tidak tahu" apa-apa ikutan menanggungnya. Orgasme puting atau breast orgasm, dialami oleh perempuan. Nggak semua bisa, tetapi banyak yang bisa merasakannya, terutama pada saat melakukan pemanasan dan saat penetrasi. Ada juga yang mengaku bisa mencapai orgasme saat puting susunya distimulasi lewat hisapan. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa perempuan yang sedang menyusui bisa mencapai orgasme. Memang masih diperdebatkan juga, tetapi ini adalah fakta dan kenyataan bahwa ini bisa. Masih diteliti apakah ada hubungannya dengan hormon oxytocin yang diproduksi oleh tubuh saat merasa terangsang, yang membuat puting susu menjadi lebih keras dan menegang saat terangsang. Ada satu lagi, nih, yang menurut saya harus kita cermati. Yaitu soal Post Orgasmis Illness Syndrome. Sebuah sindroma yang terjadi setelah orgame (biasanya setengah jam kemudian), dan bisa berlangsung selama beberapa jam atau bahkan berhari-hari. Rasanya seperti orang terkena sakit flu, lemah, letih, lesu, hidung gatal, bernsin-bersin, mata gatal, dan nyeri pada tulang serta persendian. Bahkan ada juga yang sampai demam dan temperatur tubuhnya naik. Bisa juga membuat seseorang merasa seperti jadi nggak mood dan depresi. Masih belum jelas juga penyebabnya, namun kemungkinan besar, katanya, disebabkan oleh reaksi antibodi terhadap hormon-hormon dan cairan yang diproduksi saat melakukan kegiatan seksual. Mungkin juga karena ada ketidakseimbangan unsur-unsur kimia di dalam otak. Kalau sampai mengalaminya, konsultasikanlah dengan dokter biar bisa ditangani dengan cara yang benar. Saya mohon dengan amat sangat untuk membaca tulisan ini dengan pikiran dan hati yang terbuka. Tulisan ini adalah bagian dari pembelajaran dan pendidikan. Jangan disalahartikan, ya!!!!(asa) Salam Kompasiana, MARISKA LUBIS. Kunjungi Kami di: www.mariskalubis.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI