Mohon tunggu...
Mariska Lubis
Mariska Lubis Mohon Tunggu... -

Baru saja menyelesaikan buku "Wahai Pemimpin Bangsa!! Belajar Dari Seks, Dong!!!" yang diterbitkan oleh Grasindo (Gramedia Group). Twitter: http://twitter.com/MariskaLbs dan http://twitter.com/art140k juga @the360love bersama Durex blog lainnya: http://bilikml.wordpress.com dan mariskalubis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Apakah Kebenaran Itu Tidak Pernah Ada?!

5 Juni 2010   23:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:43 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_159508" align="alignleft" width="300" caption="Illustrasi: redstick.wordpress.com"][/caption]

Bila bicara tentang kebenaran, semua memiliki persepsi dan pandangan masing-masing. Semua tergantung dari apa yang diyakininya. Semua menjadi benar karena masing-masing merasa yakin dengan kebenarannya itu sehingga seringkali menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada ujung dan akhirnya. Perpecahan dan peperangan pun tidak bisa dicegah untuk tidak terjadi. Tidak bisa juga untuk dihindarkan. Diselesaikan pun sangat sulit sekali. Apakah memang kebenaran itu tidak pernah ada?!

Seseorang sedari kecil diberitahu setiap hari dan setiap saat bahwa ”A” adalah benar. ”A” adalah yang paling benar. ”A” tidak mungkin tidak benar. ”A” selalu benar. Hanya ”A” saja yang benar. ”A” adalah segalanya. Bila bukan ”A” maka tidak benar. Bisa dibilang sebuah doktrin yang terus saja dijejali dan dipaksakan sampai benar-benar menjadi sebuah keyakinan.

Tidak ada kesempatan bagi seseorang tadi untuk mempertanyakan kenapa ”A” yang benar?! Kenapa ”A” yang paling benar?! Kenapa ”A” tidak mungkin tidak benar?! Kenapa ”A” selalu benar?! Kalaupun ada kesempatan namun karena itu sudah merupakan keyakinan selalu saja ada pembenaran atas semua itu. Meskipun pembenaran itu tidak kuat dan sangat lemah, namun tetap saja sulit untuk mengubah sebuah keyakinan, apalagi bila itu sudah merupakan doktrin.

Bila kemudian dia pun mengetahui bahwa semua itu tidak sepenuhnya benar, namun tetap saja sulit. Bahkan bila sudah terbukti berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada bahwa ”A” itu tidak benar, penolakan pun tetap ada. Bagus kalau masih bisa berpikir ulang untuk mencoba mengkaji ulang semuanya, tapi biasanya, sih, langsung saja ditolak. Maklumlah, namanya juga ego manusia. Sedikit saja disinggung, bisa menjadi bom nuklir yang maha dahsyat. Bahkan sampai tidak perlu lagi memerlukan alasan untuk membenarkan semua penolakannya. Tidak tahu juga soalnya.

Bayangkan bila ini terjadi terus menerus dan dilakukan secara turun menurun. Wow!!! Bila ada yang bertanya kenapa semua ini sampai terjadi pun, genetika yang disalahkan. Hebat banget, ya?! Benar-benar sebuah pembodohan. Bila memang ini yang terjadi maka kebenaran itu memang tidak pernah ada. Yang ada hanya sebuah doktrin yang menjadi sebuah keyakinan. Toh, bukan masalah benar atau salahnya lagi, tetapi sudah masalah keyakinan.

Itu jugalah yang membuat saya sangat kagum atas sebuah doktrin. Memiliki pengaruh yang sangat kuat bukan hanya berimbas sesaat namun bisa terus saja berlangsung sepanjang masa. Apalagi jika kemudian mereka yang menentang ini semua disingkirkan dan bahkan dimusnahkan. Semakin kuat dan semakin menjadilah meskipun sebetulnya semakin lama juga semakin rapuh. Soalnya, kebenaran yang diyakini itu sudah semakin tidak jelas dan semakin tidak memiliki kekuatan mendasar. Bila ditanya hanya bisa menjawab tidak sampai ke akarnya, hanya sampai sebatas permukaan saja. Dari mana dia bisa tahu, belajar untuk mengetahui yang benarnya pun tidak mau?! Sudah ditolak duluan bukan?! Kalau sudah begini, mana bisa maju?! Wong,kaca mata kuda pun mungkin lebih lebar.

Salah satu contoh yang paling nyata adalah tentang seks. Di mana sejak kecil seseorang yang didoktrin bahwa seks itu porno dan bukanlah sesuatu yang baik, bahkan sesuatu yang salah dan penuh dengan dosa, maka sulit untuk bisa melihat apa sebenarnya seks itu. Pokoknya kalau mendengar ataupun melihat tentang segala sesuatu yang berbau seks, sudah pasti porno, sudah pasti tidak baik, sudah pasti salah, dan sudah pasti penuh dengan dosa. Bahkan bila kemudian pun melakukannya, karena melakukan seksual suami istri itu bukan sesuatu yang porno, tidak baik, salah, ataupun berdosa, tetap saja tidak bisa melihatnya dengan jelas. Itu, kan, fakta dan sangat nyata sekali bahwa seks yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang sah bukanlah sesuatu yang porno, tidak baik, salah, ataupun berdosa. Kenapa, dong, tidak mau mengakuinya?! Kenapa terus disanggah dan ditolak?! Tidak heran bila kemudian banyak pasangan suami istri yang merasa bersalah bila melakukannya. Banyak yang jadi tidak bisa menikmatinya. Ujung-ujungnya, menjadi masalah dalam rumah tangga. Apa memang ini yang diinginkan?! Di mana kebenaran itu?!

Keyakinan ini kemudian banyak yang menjadi melebar dan semakin tak karuan serta tak jelas arah dan tujuannya. Hasrat seksual yang merupakan anugerah atas kebesaran Yang Maha Kuasa pun tidak disyukuri, dihormati, dan dihargai. Malah justru dibunuh dan dimatikan, meskipun tahu bahwa ini semua tidaklah mungkin bisa terjadi. Siapa bisa melawan kehendak-Nya?! Bukankah semua yang terbaik adalah yang diberikan oleh-Nya?! Kenapa sampai harus sampai dibunuh dan dimatikan?! Jangan gunakan alasan bahwa itu adalah porno, tidak baik, salah, dan penuh dosa lagi, ya?! Itu sama saja dengan bilang bahwa yang memberikan semua itu adalah porno, tidak baik, salah, dan penuh dosa?! Apa memang demikian?! Siapakah manusia?! Siapakah Dia?!

Ini baru satu hal saja yang sifatnya sangat mendasar dan sangat universal. Seks memang sangat pribadi namun juga sangat umum. Siapa yang tidak memiliki hasrat seksual?! Siapa yang tidak memiliki hormon seksual?! Siapa yang tidak memiliki kelamin?! Siapa yang tidak memiliki kelenjar seksual?! Siapa yang tidak memiliki syaraf dalam otak untuk kegiatan seksual dalam tubuh manusia?! Kalau memang ada yang tidak punya, apa bisa disebut normal secara fisik?! Hewan dan tumbuhan saja punya, kok!!!

Bagaimana dengan hal-hal lainnya yang sifatnya lebih terbatas lagi?! Yang mendasar dan universal saja sudah tidak mau dicari kebenarannya lagi, apalagi yang lainnya?! Wajarlah kalau kehidupan di dunia ini semakin hari semakin tidak karuan lagi. Perang semakin banyak dan manusia menjadi semakin tidak jelas lagi. Jangankan untuk melanjutkan kehidupan masa depan yang lebih baik, untuk hidup di masa sekarang pun tidak memiliki dasar dan pegangan yang kuat?! Semua yang dilakukan pun menjadi sia-sia dan tak berarti. Tidak usah dengan cara berperang, apa yang dilakukan untuk cinta, kasih, dan sayang atas nama kebaikan di masa mendatang dan masa depan yang lebih baik pun pada akhirnya hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan saja. Bukan berdasarkan kebenaran yang sejatinya, meskipun itu diyakini sebagai sebuah kebenaran.

Tidak perlulah kita pusing-pusing memikirkan kebenaran itu. Kebenaran itu ada dan mutlak adanya. Kebenaran itu hanya ada pada-Nya. Jangan pernah memutar balikkan fakta dan kenyatan yang ada. Bila kita semua mau mengenal diri sendiri dan jujur pada diri sendiri maka kita pun dapat menemukannya. Rendahkanlah hati serendah-rendahnya untuk bisa memahami semua ini. Hanya dengan cara ini kita bisa mengetahui kebenaran yang sebenarnya.

Semoga kita semua mau melakukannya. Ini semua demi masa depan. Masa depan yang kita impikan dan kita inginkan.

Salam Kompasiana,

Mariska Lubis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun