Mohon tunggu...
Marisa Jaya
Marisa Jaya Mohon Tunggu... -

Siswi yang lagi siap-siap jadi mahasiswi, dan pengusaha muda Indonesia, punya hobi nulis, dan secara sengaja pengen berbagi cerita di sini..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

No Smooking, Girl (Part 1)

27 Mei 2011   02:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam minggu.

Tak pelak restoran sea food ramai, tidak kalah ramai dari tempat clubbing dan kafe anak muda. Suara para pengunjung seperti dengungan lebah, pelayan-pelayan berbaju putih hitam kini sibuk berlalu lalang, entah untuk menerima pesanan, maupun membawakan pesanan pelanggan.

“Benar tidak apa-apa kau mentraktirku di sini?”

Tanyaku sekali lagi pada Jamie. Aku tahu sekali kemampuan materi bocah itu. cekak! Sebagai mahasiswa yang bekerja paruh waktu menjadi pelayan bar untuk menghidupi kebutuhan pribadinya sudah cukup saja syukur. Dia menghela nafas berat. Sepertinya sudah bosan dengan pertanyaanku yang itu lagi, itu lagi. bukan apa-apa, restoran yang kami datangi ini, termasuk restoran bintang 3 yang cukup ternama dengan harga makanan yang selangit!

“Aku bilang, tidak apa-apa Selena. Lagipula, jarang-jarang aku bisa mentraktirmu begini.”

“Aneh, jangan-jangan, kau di beri tips oleh om-om karena memberi “servis” ya?”

Jamie menoyor kepalaku pelan. “Sudah kubilang, aku bukan gay dan tidak melayani gay!” wajahnya kini cembetut seperti anak ABG yang tidak diberi kartu kredit. Perutku menjadi geli menatap ekspresi tanpa dosa itu.

Kulihat lagi sekeliling restoran ini, dan kembali di ramaikan oleh sekelompok anak-anak muda seumuranku, mereka datang berbondong-bondong sekitar lima sampai enam orang, lalu duduk di meja sebelah kami berdua. Orang-orang borjuis berwajah rupawan dan berkantong tebal.

Seorang perempuan di antara mereka yang berwajah cantik mengeluarkan sekotak rokok lalu dengan santai mengambil sebatang dan menyalakannya, asap rokok berwarna keruh kini mengebul dimana-mana, bahkan hingga ke paru-paruku, membuatku sesak nafas. Aku benci perokok! Lagipula, tidakkah dia melihat tanda “dilarang merokok” yang tertempel besar-besar di dinding itu?

“Jamie, bukankah di sini dilarang merokok? Lagipula kan ruangan ini memakai pendingin!” tanyaku sembari menunjuk perempuan cantik itu.

“Hey, sudahlah. Jangan bikin ribut lagi di sini, kau tahu kan mereka bukan kalangan kita. Mungkin salah satu pelayan akan mengingatkannya nanti.”

Dan tidak terjadi. Berpuluh pelayan melewati tempatnya duduk, namun tak seorangpun yang berniat mengingatkannya. Cih. Restoran macam apa ini??

Aku segera mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. “BUTA! Idiot. Jelas-jelas di situ tertulis tanda dilarang merokok!”

Keramaian itu berhenti sejenak, bagaimana tidak? aku memakai suara dengan volume 3 kali lebih besar dari biasanya. Tapi kemudian ucapanku di acuhkan oleh mereka seperti angin lalu, mereka kembali melanjutkan pembicaraan mereka. dan si perempuan, tetap merokok tanpa dosa.

“Sudahlah Selena. Kita akan cepat keluar dari sini, habiskan saja makananmu!”

“Aku benci perokok tidak tahu diri semacam itu! tidakkah mereka sadar, tidak hanya diri mereka yang terbunuh, tapi juga orang di sekelilingnya!” aku kembali mengeraskan volume suaraku.

“Kalian memiliki masalah?”

Aku menoleh dan perempuan yang tadi kini berdiri menantang di hadapanku, dia menghisap rokoknya lalu dengan sengaja menghembuskan asapnya tepat di depan wajahku. Sial.

“Eh, tidak. maafkan sikap temanku ini, nona.”

“Jaga mulut gembelnya!” katanya singkat lalu berjalan dengan pongah membelakangiku.

“Pelacur!” dia berhenti, lalu berbalik dan melangkah cepat ke arahku.

“Bisa diulangi sekali lagi?”

“Pelacur! Pelacur tidak tahu diri, bermodalkan tampang dan uang, namun tidak didukung oleh otak yang pintar!” kataku tidak kalah lantang.

“Gembel. Cih, hanya dari pakaianmu dan cara bicara saja aku sudah dapat menebak dari kalangan mana kau ini. apakah kalian berdua yakin memiliki cukup uang untuk membayar makanan di sini?”

“Itu bukan urusanmu, buta!!”

“Kau sebut aku buta? Dasar tidak tahu malu kau!”

“Risha, Risha, sudahlah.” Kulihat seorang lelaki berambut hitam berwajah pucat menghampiri lalu menahan tubuhnya agar tidak semakin maju ke arahku. “Begini saja, siapa namamu?”

“Selena.” Jawabku singkat.

“Aku akan membayar makananmu, semuanya. Dan kau hanya perlu diam, jangan mengganggu kami.”

“Apa kau pikir aku mengganggu kalian agar ditraktir? Aku hanya benci dengan tata krama gadis ini! di restoran ini sudah di jelaskan untuk tidak merokok.”

“Oh ayolah! apa salahnya dengan rokokku, Zelig?” gadis itu memeluk manja si lelaki berambut hitam.

“Namun, kau lihat sendiri, tidak ada seorang pelayanpun yang menegur kami bukan?” terang si laki-laki berusaha membela teman wanitanya. Menyebalkan.

Aku menarik baju seorang pelayan yang lewat di hadapan kami.

“Dia merokok, bukankah ada aturan dilarang merokok di sini?” aku menantang pelayan tersebut.

Dia malah terlihat kikuk dan serba salah. “Sebetulnya peraturan itu..”

“Apa? Untuk formalitas? Otak udang! Panggil manager mu sekarang juga!”

Pelayan itu berlalu dari hadapanku. Tak lama kemudian seorang pria berpakaian rapih menghampiri kami.

“Orang ini mengganggu para pengunjung yang lain dengan rokoknya.”

“Alah! Dia memang banyak bicara.”

“Tanyakan saja yang lainnya! Apakah mereka terganggu atau tidak!” kataku sengit.

Seorang wanita setengah baya datang menghampiri kami yang kini berkumpul menarik perhatian pengunjung lain. “Sejujurnya, kami merasa terganggu dengan asap rokok dan canda yang berlebihan dari mereka, Pak.”

Aku tersenyum berterima kasih pada si ibu. Lalu wanita itu balas tersenyum kepadaku.

“Baiklah jika begitu, nona. Untuk menjaga kenyamanan pelanggan yang lain, bisa tolong anda matikan rokoknya?”

Gadis sial itu mematikan rokoknya dengan wajah cemberut. Aku tertawa puas dalam hati. Mampus kau!

“Awas kau!” katanya dengan sengit. Ahahahaha. Ancam saja sesuka hatimu.

OooooooO

Siang yang terik ditemani secangkir kebisingan lalu lintas, sesendok traffic jam, dan setuang kesibukan, membuat hariku begitu indah. Dan. Menyebalkan. Aku benci setiap hari yang kujalani sepanjang hidupku, di timbuni kemiskinan dan kesibukan, namun tak kunjung merasakan hasil. Ugh!

Aku kembali beraksi hari ini, dengan sepeda motor bututku mengantarkan pizza dari jalan ke jalan, berharap mendapatkan tips untuk setidaknya menambah beberapa persen kemakmuran hidup. Namun, ayolah. sebanyak apa sih tips yang mungkin didapat oleh pengantar pizza sepertiku ini? dengar-dengar sih, bekerja sebagai bell boy hotel lebih mewah, dapat makan gratis setiap hari, dan tips seminggunya bisa sama dengan gajiku sebulan.

Tapi kan, syarat untuk bisa bekerja di sebuah hotel berbintang, aku harus mempunyai ijazah universitas sebagai sarjana perhotelan. Uang dari mana aku untuk kuliah??

Pikir boleh pikir, aku malah tidak konsentrasi di jalanan, dan sepeda motorku sedikit oleng. Untung aku cepat mengendalikannya dan kembali pada posisi stabil. Kalau sampai motor ini jatuh dan pizzanya hancur, habislah hidupku.

Aku melewati lorong-lorong gelap, biasanya kalau melewati jalan ini, aku bisa lebih cepat sampai ke tengah kota. Ada seorang pelanggan yang sedang menunggu pizza buah dan 5 pelanggan lainnya, pizza-pizza itu bertumpukan di jok belakang motorku. Kulajukan motor itu dengan sangat perlahan, ada tong-tong sampah berbau busuk dan gelandangan yang tertidur di pinggiran jalan. Masih beruntung sih, aku tidak seperti mereka. minimal, aku bisa makan secara layak dan tidur di sebuah kontrakan petak yang kecil.

Tiba-tiba ada seorang pria berbaju kumal mendorong motorku hingga terjatuh, aku termenung menatap wajah gembelnya yang di kotori tanah dan debu. Jeez, sudah berapa hari sih orang ini ga mandi? Dia tampak mengobrak-abrik motorku yang kini terbaring tak berdaya di atas tanah becek. Sial, habislah sudah. “Perampok! Ah! Habislah pekerjaanku kalau begini!” teriaku setengah curhat.

Alih-alih bersimpati padaku, dia malah mengancam. “Apa perduliku hah? Kubunuh kau jika banyak bicara.” Katanya sambil menodongkan sebilah pisau. Mulutku kini terkunci rapat.

Pria itu lalu pergi mengambil sejumlah uang yang tidak seberapa. “Ah dasar miskin kau! Ya sudahlah, kuambil segini saja, masih untung kau ga kubunuh!”

“Sudah tahu miskin, masih di rampok juga.” Cibirku kesal.

Lihatlah sekarang, motor yang tergeletak. Memang sih kerusakannya tidak seberapa, uang yang diambil pun juga bukan jumlah yang besar untuk membuatku nangis tersedu-sedu. Tapi pizza pelanggan-pelangganku ini hancur lebur dan rusak. Bahkan aku sendiri juga tidak mau memakannya! Apalagi orang yang membayar? Sebagian pizzanya telah keluar dari dalam kotak dan berantakan.

Ah matilah aku harus mencari pekerjaan lagi.

OoooooO

“6 pelanggan kita yang berharga menelpon puluhan kali ke kantor!”

Aduh, aku kan sudah minta maaf sekitar umm.. sekitar puluhan kali.

“Aku di rampok, Paman Gai.” Aku sedikit mengangkat wajah dan memperhatikan parasnya yang eye catching dengan rambut bob dan bulu mata yang tebal. Kalau saja dia bukan pengalir dana di rekeningku dan sekarang dia sepertinya ingin berhenti memberi gaji, pasti sudah kutertawakan dia sampai pingsan.

“Dan kau sudah mengucapkan itu untuk ke tujuh kalinya!”

“Lalu? Masa sih, kau ga memiliki rasa simpati sedikitpun?”

“Simpati katamu? Apa kau pikir kerugian yang kudapatkan selama kau bekerja di sini bukanlah wujud rasa simpatiku untukmu? Tiga kali memukul pelanggan, tujuh kali salah membawa pesanan, dan dua kali kau merusak motorku!”

Memang sih. tapi kan itu semua ketidak sengajaan semata.

“Kau dipecat!”

OooooooO

Mataku terpaku pada seorang pria bertopi yang menjual permen kapas. Berwarna-warni, mulai dari hijau, pink, hingga oranye. Bentuknya bulat lonjong, menyerupai gumpalan sarang laba-laba yang diberi pewarna.

Awan-awan langit sore berarak-arakan di atas kepalaku, aduh rasanya aku ingin malam cepat tiba. Supaya segera ramai pasar malam ini, siapa tahu ada satu atau dua orang yang dapat menghibur hati dengan mencari masalah denganku. Ya ampun. Sepi sekali rasanya. Aku ingin membeli permen kapas itu untuk memaniskan mulutku, tapi uang di kantung jeansku sudah terbatas sekali untuk membeli makanan seminggu pun belum tentu cukup, mana mungkin aku menghabiskannya untuk membeli jajanan?

“Mau?”

Aku menoleh dan mendapati sosok tinggi semampai yang berambut pirang membawa dua bungkus permen kapas, berwarna hijau dan oranye. Bungkus yang oranye sudah terbuka, sepertinya dia sudah melahap sedikit permen kapas tersebut. alih-alih menerima tawarannya, karena dalam kasus ini aku sudah tergiur sekali ingin merasakan permen kapas itu meleleh di mulutku hingga manisnya menempel di gigiku, dan desiran gulanya terasa di lidahku, aku malah menatapnya penuh curiga. Kok wajahnya seperti pernah kulihat ya?

“Kau siapa?” bagaimana kau tidak curiga, jika dua puluh persen dari waktu hidupmu kau habiskan untuk berkelahi di sana-sini? Bisa-bisa aku diracuni lagi.

Dia duduk di sebelahku dan sekali lagi menyodorkan permen kapas tersebut. aku mengambilnya perlahan-lahan seperti ada bom di kepalanya, lalu kembali bertanya. “Siapa kau?”

“Seriuskah kau ga mengingat aku?”

Aku memicingkan kedua mataku dan mengamat-amati wajahnya, wajah yang lonjong, dengan mata biru aqua, rambut yang pirang, gigi yang rapih, dan hidung yang mancung. Terlalu cantik untuk seorang yang berasal dari kalanganku, mari kita asumsikan bahwa dia konglomerat, apalagi jika dilihat dari cara berpakaiannya yang modis dan penuh aksesoris.

Aku mengangkat bahu, dan tawanya tergelak. “Memang, kau itu gadis yang agak ga wajar. Kita pernah bertengkar, ingat?”

“Oh…” aku menepuk jidatku.. wajahnya terlihat antusias, hingga aku menetralkan keadaan.. “Aku memang tidak mengingatmu, tapi kalau perihal berkelahi sih aku langganannya, jadi maklum saja kalau aku lupa.” Kataku tidak lupa menyertai cengiran kuda.

“Baiklah..” dia menghela nafas kesal. “…kau ingat malam minggu, kau dan seorang temanmu yang berambut pirang mengunjungi restoran yang ada di ujung jalan sana? Restoran bintang 3? Ingat?”

“Emm, sepertinya aku mulai ada gambaran di malam itu.. kami makan, dan…” aku mengernyitkan kening sejenak. Dan apa ya? kok aku lupa lagi?

“Seorang perempuan berambut pirang yang merokok? Kau mengkonfrontasinya, lalu..”

“hah!” aku mendadak terjengkang kebelakang sewaktu mengingat dengan jelas kejadian di malam itu. perempuan yang di sampingku ini?! bukankah perempuan kaya yang merokok sewaktu di restoran? Dan aku melawannya habis-habisan kan? “Kau pasti mau membunuhku kan! Apa kau membawa mafia ikut serta?”

Kini, dia benar-benar tertawa. Bukan sembarang tertawa, tapi seperti ada naga yang keluar dari bibir mungilnya, dia tertawa terbahak-bahak hingga suaranya memenuhi malam yang hening itu.

“Siapa tahu kau anak mafia, makanya kaya.”

“Tentu saja tidak! hahahaha..”

Aku kembali duduk di sampingnya dengan tenang, melihat situasi yang sepertinya mencair dan dia tidak sedang dalam acara balas dendam kepadaku. Hingga tawanya mereda, aku bertanya padanya..

“Terus buat apa kau repot-repot ke sini? Membawakan aku makanan ini?”

“Ummmn, bosan. Karena aku sedang bosan, aku pergi ke pasar malam, dan melihat wajahmu yang kepingin sekali makan permen kapas, makanya aku beli ini.”

Aku membuka permen kapas itu dan mencicipinya, ternyata melon. Aku suka sekali rasa melon!

“Tepat sekali pilihanmu. Aku suka melon..”

“Hei, kok wajahmu murung begitu? Putus cinta ya?”

“Memangnya kalau cewek murung harus selalu putus cinta ya?” kataku sebal.

“Terus kenapa?”

“Aku dipecat, tahu..”

Si gadis pirang itu terdiam sebentar, lalu mengeluarkan sesuatu dari dompet kecil yang di bawanya, dan menyerahkan aku selembar kartu nama.

“Datang langsung saja ya ke gedung ini. bilang saja kau kenalan Risha. Risha Winata.”

“Hmm, baiklah.” Aku mengambil kartu nama itu tanpa pertanyaan basa-basi lagi. aduh, apapun pekerjaan yang tersedia akan aku ambil. Eits, selama halal ya..

OooooooO

Kakiku mendadak lemas melihat gedung pencakar langit yang luar biasa tingginya, rasa-rasanya puncak gedung itu tidak akan terlihat olehku jika aku tidak mendongak nyaris terjengkang kebelakang begini, awan seperti terbelah dua di tembus olehnya. Memang sudah sering sih aku melihat gedung yang tinggi-tinggi begini, sudah menjadi pemandangan lumrah di perkotaan tempat tinggalku, tapi tidak begitu sepertinya jika memasuki gedung semegah ini untuk pertama kalinya.

Aku melangkah melewati pintu kaca yang di jaga oleh seorang satpam yang berseragam rapih, kulitnya hitam dan berkumis tebal, aduh pokoknya sangar! Aku sedikit bergidik sewaktu tatapan tajam di bawah alis tebal itu seperti scanner yang menilaiku dari atas hingga ke bawah. Ya ampun pak, aku kan mencari pekerjaan! Lagipula, aku sudah mengenakan kaus berkerahku yang paling bersih dan jeansku yang tidak robek di bagian tertentunya seperti jeans-jeans yang kupakai kebanyakan.

“Permisi, nona, ada yang bisa saya bantu?”

Tiba-tiba seorang perempuan berpakaian rapih dan berwajah yang di lapisi make up itu menghampiriku dan menyapaku dengan suara yang begitu ramah.

“Errr, aku sedang mencari Risha Winata.”

“Nona Risha? Anda temannya? Apakah sudah membuat janji? Karena demi keamanan Nona Risha, saya yang harus memastikannya sebelum menghubungi sekertaris pribadinya.”

Siapa sih sebenarnya Risha Winata itu? kenapa si pirang kemarin suruh aku menghubungi Risha? Tapi kok namanya terdengar familiar di telingaku ya?

“Kemarin.. kebetulan kemarin… Risha yang hendak memberiku pekerjaan. Bisa kau menghubunginya dulu?”

Dia tersenyum lalu menelpon melalui meja resepsionis, aku berdiri dengan canggung di tengah-tengah lobi gedung mewah itu, dengan beberapa orang yang berpakaian agak nyentrik dan terlihat modis berlalu lalang, melihatku seperti ada kecoak di tengah-tengah rumah yang higienis. Jadi risih. Tahu begini, aku akan mengenakan pakaian lain yang pernah kubeli dan belum pernah terpakai.

“Maaf, tapi menurut informasi yang aku dapatkan dari Nona Risha sendiri, dia tidak mengenal Nona, dengan hormat pihak kami mempersilahkan anda keluar secepatnya dari sini.” Katanya masih dengan senyum. Hebat ya perempuan ini, mengusirku saja masih pakai senyum segala.

“Kau tau gak sih perempuan berambut pirang dan tinggi, dia memberikanku kartu nama ini?” aku mengeluarkan kartu nama yang berisi alamat gedung ini.

“Ada banyak perempuan berambut pirang di sini, Nona.”

“Kalau begitu aku butuh pekerjaan!” kataku setengah memelas. Senyum si perempuan tadi memudar, berganti sorot mata sebal.

“Lowongan pekerjaan di sini sudah penuh. Silahkan keluar sekarang.”

“Setidaknya bersikaplah lebih sopan dari itu padaku.” Kataku sengit. Tiba-tiba satpam yang tadi berjaga di depan pintu menghampiriku dan menarik tubuhku dengan kasar. Secara insting aku meronta dan memukul kepalanya sekeras mungkin yang aku bisa. Dia balik membekuk tubuhku, lalu menyeretku keluar, aku berteriak-teriak kesal dan mengatainya dengan berbagai jenis sumpah serapah.

Orang-orang yang tadinya berlalu lalang, berhenti sejenak untuk menonton kami, tepatnya aku yang tak ubah seekor monyet tidak diberi makan pisang. “Dasar kau kumis! Lepaskan aku! Aku bisa keluar sendiri tahu!!”

Aku menenteng tas selempang hitamku dan berjalan lunglai menyusuri trotoar di luar gedung itu. mengamat-amati butik-butik mahal dengan lampu yang terang dan gaun-gaun indah terpampang di etalasenya. Kapan ya aku bisa membeli gaun semacam itu?

Hei! Gadis berambut pirang itu! dia memakai kaca mata hitam, rambut pirangnya berkibaran tertiup angin, kulihat di lengannya sudah terdapat beberapa tenteng belanjaan. Wah, pasti dia habis berolahraga sejenak. Mahalnya olahraga orang kaya, sampai ke pertokoan elit begini lagi.

“Pirang..”

Aku menghadang langkahnya yang begitu cepat dan percaya diri seperti model-model kawakan di televisi. Dia menatapku heran sejenak lalu menurunkan kaca mata hitamnya. Berusaha mengingat-ingat wajahku, bukannya kemarin aku yang lupa dengan wajahnya? Serius deh. Masa dia lupa wajahku?

“Kau lupa? Kau memberiku kartu nama ini kemarin. Untuk bertemu Risha Winata. Seharusnya aku tahu kau memang pembohong, Risha tidak mau menerimaku.” Kataku garang. Lama-lama dia bikin kesal juga deh.

“Aku Risha.” Katanya dingin. “Kebetulan, aku memang membutuhkan asisten, tapi…” dia melihatku dari atas kebawah, lalu ke atas lagi hingga aku risih setengah mati. “… bukan gadis yang sepertimu. Jauh di bawah standar.”

Oh yeah. orang gila!

“Kau pasti merasa di atas standar ya? Kau tahu, aku punya harga diri meskipun bukan orang kaya! Gak perlu merendahkan aku begitu!” kataku ketus lalu berbalik pergi meninggalkannya.

“Apa harga dirimu dapat mengisi perut?” skak mat! Aku butuh pekerjaan, dan yang jelas aku butuh makan. Terakhir kali aku makan adalah kemarin malam, dan uangku sudah hampir kering kerontang! Tapi aku masih terlalu gengsi untuk berbalik dan memohon kepadanya. Bukankah dia bilang Risha errr.. dia akan memberiku pekerjaan hari ini? “Kau tidak perlu bersikap sesombong itu kan?”

“Aku butuh pekerjaan, aku memang butuh uang.” Kalimatku untuk yang terakhir kalinya.

“Ikutlah denganku.”

Bersamboeng ke part 2

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun