Perkembangan teknologi yang semakin pesat menyebabkan penggunaan teknologi, seperti gawai semakin meningkat tiap harinya. Namun, sangat disayangkan banyaknya penggunaan gawai yang tidak sesuai umur sehingga hal ini tentunya akan berdampak pada anak itu sendiri. Hal tersebut dibuktikan dari riset yang dilakukan di Desa Tinga-Tinga, Bali pada tahun 2023 yaitu didapatkan penggunaan gawai anak usia 2-5 tahun berada di intensitas sedang sebesar 38,2% (Meriyani et al., 2023). Lebih lanjut, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2022 menyatakan bahwa terdapat 33,44% anak usia dini di Indonesia yang menggunakan gawai.
Penggunaan gawai yang berlebihan pada anak menimbulkan dampak yang buruk pada perkembangannya, salah satunya adalah perkembangan bahasa anak. Anak-anak akan banyak menyaksikan film animasi yang hanya menyajikan gambar dan minim dialog, sehingga menyebabkan anak akan hanya terpapar komunikasi satu arah dan mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan ekspresif pada anak. Hal inilah yang menyebabkan banyak anak-anak mengalami kesulitan saat berkomunikasi atau dikenal sebagai speech delay (Sari, 2020).
Padahal, anak usia dini merupakan masa golden age atau critical period bagi tahap perkembangan anak (Manas, 2020). Sowmya & Manjuvani (2019) menyatakan bahwa masa anak usia dini merupakan waktu di mana anak sedang dipersiapkan untuk masuk ke pendidikan formal. Hal tersebut mengimplisitkan bahwa periode anak usia dini merupakan tahap perkembangan yang sangat penting bagi keberlangsungan tahapan perkembangan selanjutnya. Salah satu aspek paling penting dan harus dipersiapkan pada masa anak usia dini adalah keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi dengan orang lain (Brebner et al., 2016).
Namun, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IADI) kasus anak yang mengalami keterlambatan dalam berbicara dan berbahasa semakin meningkat tiap tahunnya (Nafi'ah & Maghfiroh, 2020). Pada tahun 2017 prevalensi keseluruhan anak yang mengalami gangguan berbahasa dan bicara di RSUD Moewardi Surakarta sebanyak 595 anak (Afriany & Sofa, 2022). Selanjutnya, pada bulan Desember 2021 di Poli Sub Spesialis Anak RSUD Ulin Banjarmasin didapatkan sebanyak 69 anak yang mengalami speech delay (Mahmudianati et al., 2023).
Anak dengan gangguan bahasa juga dikaitkan dengan kualifikasi akademik yang lebih rendah (Calder et al., 2022). Kemampuan bahasa dan bicara yang bermasalah akan menyulitkan anak untuk belajar membaca, yang mana kemampuan tersebut adalah keterampilan dasar anak yang harus dikuasai (Fauzia et al., 2020). Ditemukan juga bahwa anak laki-laki dengan gangguan bahasa kemungkinan empat kali lebih besar untuk menunjukkan perilaku anti-sosial dan anak perempuan dengan gangguan bahasa tiga kali lebih besar kemungkinannya untuk menjadi korban pelecehan seksual (Calder et al., 2022).
Dari data dan dampak yang telah dipaparkan di atas, hal ini menunjukkan bahwa anak dengan speech delay di Indonesia cukuplah banyak dan mengkhawatirkan sehingga perlunya penanganan yang tepat untuk anak tersebut. Oleh karena itu, kami mahasiswa Psikologi Universitas Andalas telah berhasil mengembangkan toolbox interaktif yang ramah dan praktis dapat digunakan oleh orang tua untuk memberikan stimulus kepada anaknya. Program ini didukung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Indonesia.Â
Hal ini sebagai upaya bagi kami untuk membantu pemerintah dalam mencapai komitmen tidak ada seorangpun yang terlewatkan atau "no one left behind." Kegiatan ini telah berlangsung selama 3 bulan dan telah berhasil mengembangkan bahasa ekspresif pada 11 anak di daerah Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Sangat diharapkan melalui kegiatan ini, dapat membantu anak-anak yang mengalami keterlambatan bahasa sehingga dapat mempersiapkan dengan matang sebelum anak-anak  masuk ke pendidikan formal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H