Mohon tunggu...
Marisa Latifa
Marisa Latifa Mohon Tunggu... Pustakawan - Research Librarian I Konsultan HR

Co-Founder of Komunitas Jendela (www.komunitasjendela.org) dan Akar Wangi Indonesia (akarwangiindonesia.org)

Selanjutnya

Tutup

Money

Disrupsi Pasca Pandemi dan Sinergitas Implementasi Kebijakan Makroprudensial di Indonesia

9 Juni 2023   14:48 Diperbarui: 9 Juni 2023   15:00 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pemulihan ekonomi Indonesia di tahun 2023 ini sangatlah menantang mengingat pembatasan mobilisasi masyarakat telah dicabut sejak akhir Desember 2022. Hal ini dapat terlihat dari kembalinya pergerakan masyarakat pada kegiatan mudik lebaran 2023 Maret lalu. Daya beli masyarakat pun mulai pulih, khususnya pada penjualan produk makanan, minuman dan sandang, restoran dan di

minimarket. Namun, dampak dari pandemi selama 2 tahun berhasil mengubah perilaku dan pola pikir masyarakat dalam memprioritaskan pembelian kebutuhan primernya pada makanan dan subkelompok sandang. Pemerintah, Bank Indonesia

dan otoritas keuangan dan perekonomian berusaha keras mengawal pemulihan ekonomi Indonesia di tengah ketidakstabilan kondisi ekonomi global. Sinergitas pemangku kepentingan tersebut berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,01% lebih tinggi dari tahun lalu di kuartal I 2023. Hal ini terlihat dari pencatatan BPS yang menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia year to year

pada kuartal 1 2023 adalah 5.03 %, sementara pada periode yang sama di tahun 2022 hanya sebesar 5.02%. Optimisme terhadap ekonomi Indonesia meningkat seiring implementasi dan inovasi kebijakan pemangku kepentingan yang saling bersinergi mengawal pemulihan ekonomi negeri dan menstabilkan sistem keuangan Indonesia.

Pemulihan Ekonomi dan Tantangan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia

Kondisi ekonomi dunia setelah pandemi mengalami pelemahan ekonomi seiring dengan faktor geopolitik. Konflik Rusia dan Ukraina yang memanas pada awal tahun 2022 menghantam perekonomian negara-negara maju. Pertumbuhan ekonomi global yang melambat di awal tahun 2023, tidak dapat dilepaskan dari naiknya harga-harga energi dan pangan yang melambung tinggi. Pengetatan kebijakan moneter di Amerika dan kenaikan suku bunga terus-menerus sejak 2022, menyebabkan tingginya tekanan inflasi global, efek dari kebijakan bank sentral Amerika, the FED.

Selain itu, dampak dari pemanasan global akibat perubahan iklim juga semakin mengancam ketahanan pangan dunia. Akibatnya, kebijakan ekonomi pemangku kepentingan di beberapa belahan dunia tidak dapat lagi hanya mengfokuskan pada pemulihan ekonomi tetapi juga mengantisipasi dampak dari perubahan iklim pada perekonomian di masing-masing negaranya. Perubahan iklim yang diprediksi akan menghantam sistem ketahanan pangan berimplikasi pada inflasi, membutuhkan paket-paket kebijakan ekonomi dan keuangan Indonesia yang terhindar dari fenomena prosiklisitas, agar Indonesia mampu terhindar dari resesi ekonomi yang sudah menghantam banyak negara-negara di dunia.

Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi di era 4.0 mendorong lebih dalam kebutuhan akan digitalisasi di sektor keuangan. Pembangunan infrasturktur yang mendukung program strategis digitalisasi di Indonesia digencarkan secara intensif. Terjadinya pandemi selama 2 tahun terakhir semakin mengakselerasi kebutuhan digitalisasi di semua lini sektor kehidupan masyarakat. Hasil kajian penelitian di UGM menyatakan bahwa peningkatan aktivitas ekonomi dan keuangan melalui gawai pintar dan komputer meningkat sebesar 59% sejak Oktober 2020 1 . Tantangan digitalisasi ini perlu didukung juga dengan perbaikan insfratuktur dan ketahanan serangan siber yang semakin meningkat seiring konektivitas teknologi antar negara di seluruh dunia. 

Kebangkrutan Silicon Valley Bank, yang diumumkan pada awal Maret 2023, menambah rentetan faktor penyebab disrupsi pasca-pandemi global dan menghembuskan kewaspadaan di kalangan perbankan dan keuangan dunia. Silicon Valley Bank mengalami kebangkrutan karena terjadinya bank runs yang dilakukan oleh nasabah akibat ketidakpercayaannya pada pengelolaan dana

mereka, akankah dapat dibayarkan pada kondisi tepat waktu dan utuh. Namun, hal ini dianggap tidak berdampak pada Indonesia mengingat penarikan dana terjadi pada perusahaan start up dan paket kebijakan moneter dan makroprudensial Indonesia yang difokuskan pada penguatan ekonomi nasional memberikan ketahanan ekonomi yang berbeda dari negara lain.

Komunikasi penerapan kebijakan makroprudensial yang dilakukan oleh Kementrian Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan Indonesia selang kebangkrutan Silicon Valley Bank dan perbankan di Amerika, memberikan dampak yang positif kepercayaan masyarakat pada stabilitas sistem keuangan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun