Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah salah satu mahasiswi semester akhir. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra yang memiliki nilai moral tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Labirin Kenangan

26 November 2024   10:40 Diperbarui: 26 November 2024   12:00 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Labirin Kebun. Sumber: Kredit: pngtree.com. 

Malam itu, hujan deras mengguyur kota kecil tempat Deva tinggal. Lelaki berusia 27 tahun itu duduk di ruang tamunya, memandangi tumpukan barang-barang lama yang baru saja ia ambil dari rumah peninggalan orang tuanya. Di antara tumpukan itu, ada sebuah kotak kayu kecil yang tampak usang, dengan kunci yang sudah berkarat.

Deva meraih kotak itu, membersihkan debu yang menutupi ukiran di permukaannya. Ada tulisan kecil yang hampir pudar: "Untuk masa depanmu."

Rasa penasaran menyelimutinya. Ia mencoba membuka kotak itu, tapi terkunci. Setelah mencari-cari kunci kecil di antara barang-barang lain, ia akhirnya menemukannya di dalam amplop tua. Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu.

Di dalamnya, hanya ada sebuah jam saku antik. Jam itu berkilauan meski cahaya lampu ruang tamu redup. Ketika Deva memegangnya, jarum jam yang tadinya diam mulai bergerak perlahan, seakan hidup kembali.

Seketika, tubuh Deva terasa ringan, dan dunia di sekitarnya berputar. Ketika ia membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di tempat yang asing namun terasa akrab---sebuah taman kecil dengan pohon beringin besar di tengahnya.

Deva berjalan perlahan, mencoba memahami apa yang terjadi. Suara tawa anak-anak terdengar dari kejauhan. Ketika ia mendekati sumber suara, ia melihat sekelompok anak kecil bermain petak umpet di bawah pohon.

Salah satu anak itu menarik perhatian Deva. Ia mengenakan kaus bergaris biru dan celana pendek lusuh---dan wajahnya, wajah itu, adalah wajah dirinya sendiri saat berumur 7 tahun.

Deva tertegun. "Ini... aku?" bisiknya.

Anak kecil itu tidak menyadari kehadiran Deva. Ia terus bermain dengan ceria, tertawa bersama teman-temannya. Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Seorang pria tinggi dengan wajah keras mendekat, memanggil nama Deva kecil dengan nada tajam.

"Deva! Pulang sekarang!"

Deva kecil berhenti tertawa. Ia menunduk, menuruti perintah ayahnya. Deva dewasa mengingat momen itu---hari di mana ia pertama kali merasakan ketakutan yang mendalam pada sosok ayahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun