Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah salah satu mahasiswi semester akhir. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra yang memiliki nilai moral tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Jejak-Jejak Senja

24 September 2024   05:13 Diperbarui: 24 September 2024   17:43 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Freepik/wirestock

Senja selalu membawa Rendra kembali ke masa lalu. Di kota kecil ini, di bawah langit yang perlahan memudar menjadi jingga keunguan, ia bisa merasakan setiap hembusan angin yang berbisik dengan cerita-cerita lama. Kota ini, yang dulunya penuh dengan tawa anak-anak, hiruk pikuk pasar, dan gemericik air sungai, kini terasa begitu sepi. Hanya ada jejak-jejak memori yang tersimpan dalam setiap sudutnya.

Rendra baru saja tiba di rumah keluarganya. Sebuah rumah tua yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan. Pintu kayunya masih sama, dengan goresan di sudut kiri yang pernah ia buat saat kecil, sebuah tanda kenakalan yang tak pernah terlupakan. Rumah itu tampak rapuh, seperti menahan beban usia, namun tetap berdiri kokoh seakan menunggu kehadiran seseorang.

Dengan satu tarikan napas, Rendra membuka pintu. Aroma kayu tua yang familiar langsung menyeruak, membawanya ke masa-masa ketika ia masih kecil. Ibunya biasa duduk di kursi goyang di sudut ruang tamu, menyulam sambil menatap keluar jendela. Ayahnya, seorang pria pendiam yang penuh wibawa, selalu duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangan.

Tapi, itu semua sudah lama berlalu. Keduanya telah pergi meninggalkan dunia ini lebih dari satu dekade yang lalu, dan Rendra tak pernah punya cukup alasan untuk kembali. Sampai sekarang.

Rendra tidak pernah menyangka hidupnya akan kembali ke titik ini. Setelah hampir dua puluh tahun meninggalkan kota ini, ia merasa ada sesuatu yang menariknya kembali. Mungkin itu adalah rasa bersalah yang tak pernah tuntas, atau mungkin, hanya rindu yang tertahan begitu lama.

Namun ada satu alasan utama yang membuat Rendra benar-benar memutuskan kembali ke sini: sebuah surat. Surat itu datang seminggu yang lalu, tanpa tanda pengirim. Hanya selembar kertas lusuh dengan tulisan tangan yang hampir tak terbaca. Tapi kalimat yang tertulis di sana begitu jelas dan menggugah, "Aku menunggumu di senja terakhir."

Siapa yang menulisnya? Dan apa maksudnya dengan "senja terakhir"? Rendra tak tahu. Tapi surat itu mengusik hatinya. Ada sesuatu yang terpendam, sesuatu yang belum selesai, dan hanya dengan kembali ke kota ini ia bisa menemukan jawabannya.

Hari-hari pertama di rumah tua itu terasa hampa. Rendra berusaha menghidupkan kembali memori yang sudah lama terkubur. Ia berjalan-jalan menyusuri lorong-lorong kota, mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah akrab baginya. Toko roti di ujung jalan tempat ia dan teman-temannya sering membeli kue sepulang sekolah kini telah berubah menjadi toko elektronik. Warung kopi yang biasa dikunjungi ayahnya sekarang kosong, seolah menunggu pengunjung yang tak pernah datang.

Namun, ada satu tempat yang tetap sama: taman kecil di dekat sungai. Di sinilah, bertahun-tahun yang lalu, Rendra pertama kali bertemu dengan Lila.

Lila. Nama itu selalu menghantui pikiran Rendra sejak surat itu datang. Ia tak pernah bisa melupakan senyum Lila yang lembut, matanya yang cerah, atau tawa renyahnya yang selalu membuat segala sesuatu tampak lebih baik. Lila adalah sahabatnya, cinta pertamanya, dan satu-satunya alasan ia tetap bertahan di kota ini selama masa remajanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun