Malam itu angin bertiup kencang. Jendela kamar kos Mila bergoyang dengan keras, membuat suara decitan yang mengganggu di telinga. Ia baru saja pindah ke tempat itu seminggu yang lalu. Harga kos yang murah dan lokasinya yang dekat dengan kampus membuatnya tidak terlalu memikirkan hal-hal kecil seperti suasana kamar yang suram atau pintu lemari yang selalu berbunyi meski tidak ada angin.
Kamar kosnya terletak di lantai tiga, paling ujung. Lorong menuju kamarnya gelap karena lampu di sudut lorong sudah lama mati dan belum diganti oleh pemilik kos. Hanya ada satu penghuni lain di lantai tersebut, seorang gadis pendiam yang selalu memakai hoodie besar, sehingga wajahnya hampir tak pernah terlihat dengan jelas. Mila merasa aneh dengan gadis itu, tapi mencoba tak terlalu memikirkannya.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Mila merasa gelisah. Ada yang aneh dengan kamar kosnya. Bukan hanya karena suasananya yang suram atau lorong yang selalu dingin meski cuaca di luar panas. Setiap malam, ia merasa seperti ada yang memperhatikannya. Kadang, ia terbangun di tengah malam dan melihat bayangan bergerak di sudut kamar, tapi ketika ia menyalakan lampu, tidak ada apa-apa. Bayangan itu hilang begitu saja.
Mila mencoba mengabaikan hal-hal aneh itu. Ia berpikir mungkin hanya sugesti, atau ia terlalu lelah karena aktivitas kampus yang padat. Namun, malam ini, kegelisahannya semakin kuat. Setiap kali ia memandang cermin besar di samping lemari, ia merasa cermin itu memantulkan sesuatu yang lebih dari sekadar bayangannya sendiri. Ada semacam bayangan samar di belakangnya, bayangan yang bergerak meski dirinya tidak.
Ia menatap cermin itu lebih lama, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah ilusi. Namun, bayangan itu tak juga hilang. Tubuhnya mulai merasakan dingin yang aneh, meskipun tidak ada angin yang masuk dari jendela. Tanpa sadar, bulu kuduknya berdiri, dan ia merasakan jantungnya berdegup semakin cepat.
"Mungkin aku harus tidur," gumamnya pada diri sendiri, berharap rasa lelah bisa mengusir perasaan takut yang mulai muncul.
Mila menarik selimut dan mencoba memejamkan mata. Suara gemerisik dari luar jendela semakin terdengar jelas, seakan-akan ada yang menggaruk kaca dengan kuku panjang. Tapi, ia berusaha menutup telinganya dan mengabaikannya. Ia berbalik menghadap tembok, memunggungi cermin besar yang terletak di dekat pintu.
Malam semakin larut. Mila mulai terlelap, namun tiba-tiba ia terbangun karena suara aneh. Suara berdecit yang tak terlalu keras, namun cukup membuatnya terjaga. Ia membuka mata perlahan, dan melihat pintu lemarinya sedikit terbuka. Padahal, ia yakin sebelumnya sudah menutup rapat lemari itu.
Ia duduk perlahan di tempat tidurnya, memandangi pintu lemari yang bergoyang perlahan, seolah ada seseorang yang berada di dalamnya dan sedang mendorong pintu sedikit demi sedikit. Nafas Mila mulai tercekat. Ia ingin mendekati lemari itu dan menutup pintunya kembali, tapi tubuhnya seakan menolak untuk bergerak.
Hingga suara berdecit itu berhenti. Pintu lemari diam, tapi kini Mila merasakan sesuatu yang lebih menakutkan. Dari sudut matanya, ia melihat sesuatu di cermin.
Di cermin itu, pantulan kamarnya tidak tampak seperti biasanya. Bayangannya sendiri terlihat sedikit kabur, tapi bukan itu yang membuat Mila ketakutan. Di belakang bayangan dirinya, terlihat sesosok makhluk berdiri di sudut kamar, dekat dengan pintu. Tubuhnya tinggi, kurus, dan gelap. Matanya memerah, bersinar samar di tengah kegelapan. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam di sana, memperhatikan Mila.
Mila menelan ludah, merasa tubuhnya membeku. Ia berani bersumpah bahwa tidak ada siapa pun di kamarnya selain dirinya. Tapi sosok di cermin itu ada di sana, seolah menjadi bagian dari ruangan, hanya terlihat di pantulan.
Dengan jantung berdegup kencang, Mila perlahan berbalik untuk memastikan. Ketika ia melihat ke arah sudut kamar di mana sosok itu seharusnya berada, ia tidak melihat apa-apa. Kosong. Hanya tembok dan pintu yang sedikit terbuka. Namun, ketika ia kembali memandang cermin, sosok itu masih ada, tetap berdiri di sana.
Kali ini, makhluk itu mulai bergerak. Langkahnya pelan, nyaris tak terdengar, mendekati Mila dari pantulan di cermin. Mila ingin berteriak, tapi tenggorokannya tercekat. Sosok itu terus mendekat, sampai akhirnya berhenti tepat di belakangnya. Mila bisa merasakan hembusan napas dingin di tengkuknya, meski ketika ia menoleh ke belakang, lagi-lagi tidak ada apa-apa.
Tiba-tiba, lampu kamar mendadak padam. Ruangan menjadi gelap gulita. Hanya sisa cahaya bulan yang masuk lewat jendela, membuat siluet samar dari benda-benda di sekitarnya. Mila merasa jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya. Ia mencoba mencari ponselnya di meja kecil di samping tempat tidur, tangannya gemetar saat meraba-raba dalam kegelapan. Namun, sebelum ia sempat meraih ponselnya, sesuatu yang dingin dan kasar menyentuh pergelangan tangannya.
Mila tersentak, menarik tangannya dengan cepat. Nafasnya memburu, dan kini ia benar-benar merasa ada seseorang di kamar itu bersamanya. Tubuhnya menggigil ketakutan. Suara napas berat terdengar pelan di telinganya. Sesuatu ada di belakangnya. Sosok itu... ia bisa merasakannya, begitu dekat, begitu nyata.
Mila menutup matanya, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun, ketika ia membuka mata lagi, pantulan di cermin menunjukkan sosok itu tepat di belakangnya, menunduk seolah berbisik di telinganya. Wajahnya samar, hampir tak berbentuk, hanya dua mata merah yang bersinar menembus kegelapan.
"Tinggalkan aku..." suara serak terdengar dari arah cermin.
Mila tidak bisa lagi menahan diri. Dengan sekuat tenaga, ia melompat dari tempat tidurnya, berlari menuju pintu kamar. Ia membuka pintu dengan gemetar, dan segera keluar dari kamar tanpa menoleh ke belakang. Di lorong yang gelap, ia berlari tanpa henti, menuruni tangga menuju lantai bawah.
Ketika sampai di ruang tengah kos, Mila mendapati pemilik kos, Bu Ratna, sedang duduk di sofa sambil menonton televisi. Wanita itu menoleh kaget melihat Mila yang pucat dan terengah-engah.
"Ada apa, Nak?" tanya Bu Ratna, suaranya terdengar tenang meskipun raut wajahnya tampak khawatir.
"Tolong... tolong Bu... ada sesuatu di kamar saya..." suara Mila gemetar. Ia tidak bisa menjelaskan dengan jelas, tapi ia tahu ada sesuatu yang sangat salah di kamar itu.
Bu Ratna bangkit dari sofanya dan berjalan mendekat. "Tenang, Nak. Duduk dulu. Ceritakan apa yang terjadi."
Mila duduk di kursi yang terletak di dekat pintu, masih berusaha mengatur napasnya. Dengan suara terbata-bata, ia mulai menceritakan apa yang ia alami. Tentang bayangan di cermin, sosok yang muncul di belakangnya, dan sentuhan dingin yang ia rasakan di kamarnya.
Wajah Bu Ratna berubah serius saat mendengarkan cerita Mila. Setelah Mila selesai berbicara, wanita itu menarik napas panjang dan memandang Mila dengan tatapan prihatin.
"Kamu bukan orang pertama yang mengalami hal itu di kamar tersebut," kata Bu Ratna pelan.
Mila terdiam. "Maksud Ibu?"
"Kamar yang kamu tempati itu... sudah lama tidak dihuni. Sebelum kamu, ada beberapa penghuni lain yang juga mengalami hal-hal aneh. Mereka sering merasa diawasi, mendengar suara-suara aneh, dan melihat bayangan di cermin, seperti yang kamu alami."
Mila merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. "Kenapa kamar itu... seperti itu, Bu? Ada apa sebenarnya?"
Bu Ratna menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku sendiri tidak tahu pasti. Tapi, beberapa tahun yang lalu, sebelum kos ini aku kelola, ada seorang gadis yang tinggal di kamar itu. Namanya Sinta. Dia mahasiswa, sama seperti kamu. Suatu malam, dia ditemukan tewas di kamarnya, tepat di depan cermin besar yang sekarang ada di kamar kamu. Tidak ada yang tahu penyebab kematiannya. Beberapa orang bilang dia bunuh diri, tapi tidak ada bukti yang jelas."
Mila merasa perutnya mual mendengar cerita itu. "Dan setelah itu...?"
"Sejak kematian Sinta, kamar itu selalu dihuni oleh sesuatu. Entah apa, tapi semua yang pernah tinggal di sana mengaku melihat sosok yang sama. Sosok yang selalu muncul di cermin."
Mila merasa tubuhnya gemetar. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. "Jadi, maksud Ibu... kamar itu... berhantu?"
Bu Ratna mengangguk pelan. "Aku sudah mencoba memindahkan cermin itu, tapi setiap kali dipindahkan, cermin itu selalu kembali ke tempatnya. Seolah-olah... sesuatu yang ada di dalamnya tidak ingin cermin itu dipindahkan."
Mila merasa tubuhnya lemas. Ia tidak tahu harus berbuat apa. "Apa yang harus saya lakukan, Bu? Saya tidak bisa tinggal di sana lagi."
Bu Ratna memandang Mila dengan mata penuh pengertian. "Aku bisa memindahkanmu ke kamar lain, Nak. Tapi, jika kamu ingin benar-benar aman, aku sarankan kamu pergi dari sini."
Mila terdiam. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak punya tempat lain untuk tinggal, tapi ia juga tidak bisa kembali ke kamar itu. Akhirnya, setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk meninggalkan kos itu dan mencari tempat lain untuk tinggal. Bu Ratna mengerti dan menawarkan bantuan untuk mencarikan kos baru.
Keesokan harinya, Mila sudah mengemasi barang-barangnya. Ia tidak ingin berada di kamar itu lebih lama lagi. Ketika ia mengemasi barang terakhirnya dan berjalan keluar, ia melihat ke arah cermin untuk terakhir kalinya.
Dan di sana, di balik bayangannya sendiri, ia masih bisa melihat sosok itu. Berdiri diam, menatapnya dengan mata merah yang bersinar.
Mila meninggalkan kamar itu dengan perasaan tak menentu, berharap ia tidak akan pernah melihat sosok itu lagi.
Sumbawa, 11 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H