Mohon tunggu...
Marisa Aulia Hardianti
Marisa Aulia Hardianti Mohon Tunggu... Lainnya - SMAS 17 AGUSTUS 1945 Surabaya

Siswi SMAS 17 AGUSTUS 1945 jurusan MIPA. Memiliki ketertarikan di bidang pendidikan dan komunikasi. Terbiasa mengelola event, berbicara di hadapan publik, dan mampu berkomunikasi dengan baik. Pribadi yang jujur, cekatan, dan tanggap terhadap suatu permasalahan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gema Suara untuk Indonesia dari yang Tak Bersuara

31 Juli 2024   22:00 Diperbarui: 31 Juli 2024   22:06 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perwujudan Indonesia Emas di tahun 2045 tentu menjadi suatu impian yang besar bagi seluruh elemen kehidupan di tanah air, sebuah cita-cita bangsa yang mengharapkan keadilan, kemakmuran, kemajuan, hingga kedaulatan tentu menjadi suatu tantangan besar bagi masa kini. Menghadapi serangkaian tantangan nyata yang menghadang tanpa henti, pemangku kepentingan bangsa menggagas secara tegas beberapa impian Indonesia salah satunya adalah Indonesia menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia. Impian untuk mewujudkan Indonesia menjadi sebuah pusat pendidikan dengan tujuan mampu mencetak kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas melalui peningkatan dan pemerataan pendidikan mampu menuai banyak persepsi dari elemen kehidupan Indonesia. 

Impian yang seharusnya menjadi suatu rasa tanggung jawab bersama dan memiliki gelora dalam mewujudkannya, berakhir harus merasakan suatu ketidakadilan dan penyelewengan yang merujuk pada kesengsaraan bersama. Mata rantai persoalan akan pendidikan tidak akan mudah terlepas begitu saja, mimpi bangsa dan tantangan nyata mengenai pendidikan begitu terasa. Pada faktanya Indonesia masih harus merasakan adanya beberapa permasalahan yang terus menghantui mimpi bangsa dan perkara yang kerap kali dipandang sebelah mata oleh Indonesia adalah mengenai sekolah yang inklusif.

Berkaca pada komitmen dan impian Indonesia yang ingin meningkatkan kualitas Indonesia pada visi menuju Indonesia Emas 2045 maupun pada tujuan ke 4 Indonesia dalam Sustainable Development Goals atau SDGs mengenai jaminan pendidikan inklusif yang berkualitas nyatanya masih belum mendapatkan bukti nyata secara konkret dari Indonesia. Pasalnya permasalahan mengenai anak-anak yang memiliki keterbatasan masih terus mengakar kuat di Indonesia secara luas. Di sisi lain berlandaskan data yang diunggah oleh Data Badan Pusat Statistik (DBPS) terdapat 650.000 anak disabilitas yang tentunya memerlukan pendidikan Inklusif.

Mewujudkan pendidikan yang inklusif tidaklah mudah pasalnya melihat bahwa masih adanya ketimpangan pendidikan yang dirasakan oleh anak-anak yang berada di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), masih harus terus bergelut dengan aksesibilitas dan mobilitas yang tidak memadai, keinginan Indonesia untuk menjadi pusat teknologi juga sulit terasa dapat dicapai oleh mereka yang terus merasakan kepedihan akan pendidikan di ibu pertiwi, pasalnya untuk mendapatkan akses jaringan internet dan pelatihan penggunaan teknologi oleh tenaga pendidikan masih belum bisa memenuhi secara optimal khususnya dalam menangani anak-anak disabilitas.

 Keadaan ini relevan dengan salah satu kasus yang dialami oleh anak-anak disabilitas yang berada di Papua yaitu pada tahun 2019 bahwa belum ada data pasti akan pendataan mengenai anak-anak disabilitas yang dapat mengampu atau membutuhkan bantuan pendidikan sehingga perlu 2 hingga 4 tahun untuk Papua berhasil memberikan bantuan pendidikan untuk menyekolahkan anak penyandang disabilitas di Papua dengan jumlah sebanyak 875 siswa. Berkaca pada fenomena tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah melakukan langkah konkret dalam menanggapi kasus pendidikan inklusif di wilayah 3T, namun tindak lanjut tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga implementasi pendidikan inklusif di daerah tersebut belum dapat terlaksana secara merata dan komprehensif.

Di sisi lain perlu diperhatikan juga mengenai mutu pendidikan bagi sekolah inklusif yang faktanya masih rendah dan perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah daerah, stakeholder, maupun seluruh masyarakat Indonesia. Pasalnya mutu pendidikan di sekolah inklusif masih mengalami berbagai permasalahan, diantaranya adalah regulasi GPK (Guru Pembimbing Khusus) yang masih dianggap sebagai tugas tambahan sedangkan hanya terdapat tiga jenis eksistensi guru yang dikenal dalam mengemban tugas diantaranya adalah guru mata pelajaran, guru bimbingan konseling, dan guru kelas. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa seorang guru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan inklusi atau pendidikan luar biasa dapat menjadi seorang GPK, sehingga kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut tidak koheren saat mengimplementasikan kepada murid berkebutuhan khusus.

Regulasi GPK yang tidak terstruktur dalam pelaksanaannya juga dipengaruhi oleh jumlah GPK yang tersedia pada sekolah inklusif. Dalam praktiknya di sekolah inklusif seorang GPK yang seharusnya hanya membimbing 5 anak berkebutuhan khusus sesuai standarisasi yang biasanya ditetapkan oleh SLB (Sekolah Luar Biasa), dituntut untuk dapat membimbing seluruh anak berkebutuhan khusus yang terdapat dalam sekolah tersebut. Berorientasi pada jumlah GPK yang terbatas tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus yang dibimbing lebih dari 5 anak sesuai standar sehingga bimbingan yang diberikan tidak optimal. 

Kualitas GPK yang tidak memenuhi kompetensi yang ditetapkan, mampu menimbulkan berbagai permasalahan salah satunya adalah kasus perundangan yang terjadi di Surabaya. Pada suatu sekolah inklusif terjadi perundungan yang dilakukan oleh seorang GPK terhadap beberapa anak bimbingannya baik secara verbal maupun fisik, meskipun GPK tersebut memiliki latar belakang pendidikan luar biasa akan tetapi kompetensi yang dimiliki sangat buruk bahkan melanggar peraturan sekolah inklusif. Melalui kasus perundungan tersebut, anak berkebutuhan khusus yang menjadi korban mengalami trauma mendalam bahkan takut untuk bersosialisasi hingga tidak ingin masuk sekolah selama beberapa bulan. Melalui adanya kasus tersebut maka Indonesia perlu memberikan perhatian khusus terkait dengan regulasi serta kualitas yang dimiliki oleh seorang GPK, karena mutu pendidikan juga ditunjang dengan kualitas yang dimiliki seorang tenaga pendidik, salah satunya adalah GPK.

Melalui permasalahan krisis sekolah inklusif diharapkan bahwa Indonesia mampu untuk menciptakan suatu regulasi serta implementasi yang representatif dan komprehensif sehingga mampu mewujudkan mimpi sebagai Indonesia Emas di tahun 2045 dengan mencetak generasi-generasi unggul yang dapat merasakan adanya keadilan, kemakmuran, kemajuan, hingga kedaulatan yang tentunya akan berdampak besar dalam menentukan arah Indonesia selanjutnya karena generasi tersebutlah yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun