Konon katanya...Masyarakat Indonesia itu dikenal sebagai masyarakat yang gemar menyelesaikan masalahnya dengan cara damai.
Apa iyaa???
Kalau berdasarkan pengamatan si bener yaaa... masyarakat Indonesia tuh selalu menempatkan tokoh agama ataupun tokoh masyarakat untuk turut membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi.Biasanya tempat penyelesaian itu dilakukan di balai pertemuan desa yang dihadiri oleh orang-orang penting setempat.Sedangkan bagi masyarakat Muslim, penyelesaian masalah dengan cara damai (il) biasanya dilakukan di serambi-serambi masjid, yang kemudian dikenal dengan Pengadilan Agama.
Ajaran damai yang menjadi karakter bangsa Indonesia yang bersumber dari ajaran agama ini kemudian menjadi embrio dalam sistem peradilan. Sebelum pengadilan melakukan penyelesaian secara ajudikatif harus selalu mengajak para pihak untuk berdamai. Karna buat apa sih kita capek-capek berperkara? Kalau bisa damai, kenapa tidak ?Â
Dasar hukum nya ada di dalam konsideran huruf A PERMA Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan bahwa mediasi (upaya perdamaian) merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya dalam huruf B disebutkan pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrument efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus.
Melalui PERMA No. 1 Tahun 2008 mediasi sudah terintegrasikan dalam sistem peradilan dan disebut mediasi peradilan. Setiap perkara perdata yang diajukan di pengadilan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui tahap mediasi ( seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya ).Mediasi di pengadilan dilakukan oleh mediator hakim maupun mediator non hakim yang telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Mediator (PKPM) yang diselenggarakan oleh lembaga yang sudah terakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Jadi... gak bisa asal nerobos tuh tiap ada perkara, harus ngelewatin mediasi duluu, dan gak bisa sembarang orang yang boleh melakukan mediasi.Â
Harus kita akui, kalau dalam praktiknya mendamaikan para pihak yang sedang berperkara di pengadilan bukan pekerjaan yang gampang, bahkan yang ahli dalam bidang nya sekali pun belum tentu mampu mendamaikan para pihak yang berperkara. Apalagi jika sentimen pribadi lebih mengemuka dibanding pokok persoalan yang sebenarnya.Kemudian,bagaimana pengimplementasian mediasi dalam pengadilan agama? Berjalan efektif kah?
Sebagai contoh,proses implementasi mediasi di Pengadilan Jawa Tengah. Pengadilan Agama di Jawa Tengah (Semarang, Surakarta dan Rembang) telah melaksanakan amanat Mahkamah Agung dalam penyelesaian perkara perdata melalui mediasi yang tertuang dalam (PerMA No. 1 Tahun 2008). Perkara perceraian yang terdaftar di tiga Pengadilan Agama Jawa Tengah (Semarang, Surakarta dan Rembang) diselesaikan melalui cara mediasi, dan angka keberhasilannya sangat kecil.Â
Di Pengadilan Agama Semarang hanya 23 perkara dari 10.817 perkara perceraian yang didaftarkan. Di Pengadilan Agama Surakarta keberhasilan mediasi hanya mencapai 2 perkara dari 3.217 perkara perceraian yang didaftarkan. Sedangkan di Pengadilan Agama Rembang, keberhasilan mediasi mencapai 7 perkara dari 4.523 perkara perceraian yang didaftarkan. Terlihat bahwa tingkat keberhasilannya masih jauh dari harapan Mahkamah Agung, yang salah satu tujuan diterbitkannya PERMA mediasi adalah untuk menyelesaikan perkara secara win-win solution dan mengurangi jumlah penumpukan perkara.
Timbul pertanyaan,apakah profesionalisme mediator hakim berpengaruh terhadap rendah nya keberhasilan dalam melakukan proses mediasi? Seseorang yang menjalankan fungsi sebagai mediator harus memiliki sertifikat yang diperoleh setelah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Mediator PKPM yang diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Namun jika dalam wilayah pengadilan tidak ada hakim yang bersertifikat, maka hakim di lingkungan pengadilan tersebut dapat menjalankan fungsi sebagai mediator. Dengan demikian maka bagi hakim yang tidak / belum bersertifikat pun dapat menalankan fungsi mediator.Â